Maulana Syamsuddin Tabriz Sang Mursyid Jalaluddin Rumi
Tari Sema muncul atas dasar kerinduan Maulana Jalaluddin Rumi terhadap guru spiritualnya yang bernama Syamsi Tabriz,
 yang latar belakang keluarga dan riwayat hidupnya tidak diketahui 
secara pasti dari mana ia berasal. Jadi, tidak mengherankan jika 
kebanyakan orang di masanya menganggap bahwa sosok Syamsuddin sangat 
misterius. Hal tersebut tidak menjadi suatu penghalang bagi Rumi untuk 
berguru dan menjadikan Syams sebagai “kekasih” spiritual Rumi. Dikatakan
 “kekasih” karena hubungan mereka sangat erat, sampai-sampai ke mana pun
 Rumi pergi, Syams selalu mengikutinya, begitu pula sebaliknya. 
Syams adalah sumber kehidupan 
baginya. Seperti yang kita ketahui bahwa Matahari—yang disimbolkan untuk
 Syams—merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk ciptaan Tuhan di 
bumi, begitu juga dengan peranan Syams dalam kehidupan Rumi. Ungkapan 
ini digambarkan oleh Rumi dalam karyanya yang berjudul Diwan-i-Syamsi 
Tabriz,  sebagai berikut: 
Seperti awan yang bergerak di belakang Matahari
Semua hati menyertaimu, 
O, Matahari Tabriz!  
Menurut riwayat, Syams memiliki 
kepribadian yang sangat aneh semasa kecilnya dulu. Karakter dan tingkah 
laku Syams tidak sewajarnya seperti yang dimiliki oleh anak-anak kecil 
pada umumnya. Ia sering kali murung dan lebih suka untuk menghabiskan 
waktunya sendirian tanpa seorang teman di sisinya. Dikatakan demikian, 
karena Syams merasa bahwa teman-temannya tidak satu pemikiran dengannya,
 tidak ada satupun dari teman-teman seusianya dapat mengerti dan 
memahami keinginannya. Oleh karena itu, ia ingin mencari orang yang 
tepat, yang mau memahaminya dan dapat dijadikannya sebagai teman hidup. 
Syams sangat merindukan kehadiran seorang kekasih dalam hidupnya untuk 
bisa membantunya menanggalkan sifat ego yang ada di dalam dirinya, namun
 sangat disayangkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memahami 
maksud yang tersirat dalam ungkapan Syams tersebut. Ketika itu, Syams 
merasa sangat “haus” akan Cinta Tuhan, sampai-sampai ia tidak nafsu 
makan dan juga tidak dapat tidur dengan nyenyak. Syams menyebut keadaan 
ini sebagai masa cinta sejati, yakni suatu keadaan di mana kerinduannya 
kepada Tuhan membuatnya lupa akan segala-galanya, termasuk kebutuhan 
fisiknya. 
Kemudian Syams memutuskan untuk 
mengembara dari satu negeri ke negeri lainnya, mencari seseorang yang ia
 harapkan selama hidupnya. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya
 Syams berkelana seorang diri mencari seseorang yang tahu tentang cara 
untuk mencapai kebenaran ilahi. Rumi kemudian memberikan gelar “Colender” yang artinya “Sufi Pengembara”
 pada Syams. Suatu ketika, Syams bertemu dengan seorang syekh sufi di 
Baghdad. Karena kagum dengan ketinggian ilmu yang dimiliki Syams, maka 
syekh sufi tersebut meminta Syams untuk mengangkatnya menjadi murid 
Syams. Akan tetapi, Syams menolaknya, karena menganggap orang tersebut 
tidak akan sanggup berguru dengan Syams. 
Setelah itu Syams melanjutkan 
perjalanannya lagi. Dengan pakaiannya yang lusuh bagaikan seorang 
gelandangan, Syams bertemu dengan Rumi ketika Rumi berusia 37 tahun. 
Mereka bertemu pada bulan November 1244. Saat itu Rumi di tengah 
perjalanannya menuju madrasah tempat Rumi mengajar, dengan mengendarai 
kuda bersama dengan murid-muridnya. Tanpa diduga, tiba-tiba Syams muncul
 dan langsung melemparkan sebuah pertanyaan yang sangat mengejutkan 
Rumi. Syams bertanya: “Siapakah yang paling hebat, Bayazid al- Bistami atau Rasulullah SAW.?”.
 Sungguh tidak dapat disangka, pertanyaan Syams tersebut langsung 
menyentuh hati Rumi. Rumi pun tidak kuasa menjawab pertanyaan tersebut, 
hingga membuatnya (Rumi) terjatuh dan tidak sadarkan diri. 
Ketika sadar, Rumi sudah berada 
di sisi Syams. Saat itulah mereka mulai merasa dekat dan memutuskan 
untuk berkhalwat, mengasingkan diri dari keramaian di sebuah kamar 
selama berbulan-bulan. Rumi merasa bahwa dirinya tidak berarti apa-apa 
dibandingkan dengan Syams, meskipun sebenarnya ilmu yang dimiliki Rumi 
sudah mencapai tingkat tinggi. Kerendahan hati Rumi ini, ia ungkapkan 
dalam kalimat, “Aku hanyalah debu dari telapak kaki Nabi Muhammad Saw.”
 Pada pandangan pertama ketika bertemu Syams, Rumi melihat ada kobaran 
api cinta dalam diri Syams. Oleh karena itu, Rumi merasa jatuh cinta 
dengan Syams. Peristiwa ini menyebabkan putera dan seluruh murid Rumi 
merasa cemburu dan iri terhadap Syams. Kehadiran Syams membuat Rumi 
meninggalkan semua aktivitasnya, termasuk mengajar. Murid-murid Rumi 
merasa hubungan mereka dengan Rumi menjadi semakin jauh. Alasan inilah 
yang membuat murid-murid Rumi merasa geram  dan merasa terganggu akan 
kehadiran Syams di antara mereka, sehingga mereka berunding dan 
memutuskan untuk memisahkan Rumi dari Syams. 
Pada bulan Februari 1246, mereka
 mengusir Syams untuk pergi sejauh mungkin dari kehidupan Rumi. Atas 
perintah tersebut, Syams pergi menuju Damaskus. Kepergian Syams tersebut
 membuat Rumi gelisah, hingga akhirnya Rumi memerintahkan putera 
sulungnya, Sultan Walad, untuk mencari Syams. Ketika Sultan Walad 
mengetahui keberadaan Syams, ia pun langsung menyusul Syams dan 
membawanya kembali ke Konya. Setelah Rumi mengetahui kepergian Syams 
karena ulah dari murid-muridnya sendiri, Rumi menjadi sangat marah atas 
perlakuan murid-muridnya yang dianggapnya telah berbuat kasar terhadap 
guru spiritualnya tersebut. Hal tersebut dilakukan atas dasar cinta yang
 Rumi rasakan terhadap Syams yang sangat besar, sehingga Rumi tidak 
sanggup untuk pisah dari Syams, begitu juga sebaliknya. Rasa cinta 
mereka tidak dapat terlihat, siapa yang sebagai kekasih dan siapa pula 
yang menjadi terkasih. 
Setelah Sultan Walad berhasil 
membujuk Syams, akhirnya pada bulan Mei 1247, Syams kembali lagi ke 
Konya. Akan tetapi, kembalinya Syams ke Konya kali ini tidak bertahan 
lama. Hal ini bukan yang pertama kalinya Syams mencoba untuk pergi jauh 
dari kehidupan Rumi karena perlakuan orang-orang yang tidak mengharapkan
 kehadirannya. Berkali-kali Syams pergi keluar dari Konya, dengan alasan
 demi perkembangan spiritual Rumi. Kepergian Syams yang pertama, ia 
curahkan dalam tulisannya yang berjudul Maqalat. 
Suatu malam, di bulan Desember 
tahun 1247 ketika Syams sedang bersama Rumi di dalam rumah, tiba-tiba 
seseorang mengetuk pintu dan berkata bahwa ada seorang sufi yang datang 
dari jauh ingin bertemu dengan Syams. Kemudian Syams pun keluar ruangan 
dan mengikutinya. Setelah itu, Syams tidak muncul-muncul lagi. Berbagai 
sumber telah menyebutkan bahwa hilangnya Syams karena telah dibunuh oleh
 Putera kedua Rumi, Ala’uddin, beserta kawan-kawannya yang merupakan 
murid-murid Rumi. Pembunuhan berencana tersebut disebabkan karena mereka
 tidak  menginginkan kehadiran Syams di dalam kehidupan Rumi. 
Setelah sekian lama Rumi 
menunggu kepulangan Syams. Namun, Syams tidak kunjung datang menemui 
Rumi. Rumi pun mencari-cari Syams di mana-mana, tetapi usahanya tersebut
 tidak membuahkan hasil. Kesedihan Rumi atas hilangnya Syams 
direfleksikan Rumi dalam bentuk tarian berputar sambil melontarkan 
bait-bait puisi mistis cinta. 
Sebenarnya tari Sema sebelumnya 
sudah dilakukan oleh Abu Bakar as-Shiddiq. Namun, saat itu Sema tidak 
dikenal seperti halnya pada masa Rumi. Keadaan Rumi ketika kehilangan 
Syams digambarkan oleh putera sulung Rumi, Sultan Walad, dalam bentuk 
syair berikut ini: 
“Tidak pernah sejenak pun dia berhenti mendengarkan musik (sama’) dan menari; 
Tidak pernah dia melepaskan lelah baik siang maupun malam. 
Setelah menjadi seorang mufti: dia menjadi penyair; 
Setelah menjadi seorang pertapa: ia menjadi mabuk oleh Cinta. 
Bukanlah anggur biasa: jiwa yang terang hanya meneguk anggur cahaya”. 
Dari ungkapan putera sulung Rumi
 tersebut, terbukti bahwa tidak henti-hentinya Rumi menari dan 
berputar-putar sambil mengungkapkan luapan isi hatinya dalam bentuk 
puisi yang bersifat mistis. Tarian berputar ini dikenal dengan nama Sema
 dan di Barat dikenal dengan sebutan “the whirling dervishes”, yang berarti “darwis yang berputar”.
 Kata Sema itu sendiri muncul karena tarian ini dilakukan dengan 
diiringi alunan musik. Sedangkan istilah “the whirling dervishes” muncul
 karena gerakan yang terdapat dalam tari Sema, berputar-putar seperti 
halnya permainan gasing. 
Tarian tersebut tiba-tiba saja muncul ketika Rumi mendengar dentingan suara besi tempat sahabatnya, Salahuddin Zarqub,
 bekerja. Setiap dentingan besi tersebut seolah-olah Rumi mendengar nama
 Allah! Allah! Allah! sebagai akibatnya, Rumi menari berputar-putar 
hingga mencapai keadaan ekstase. Sema atau tarian berputar juga 
merupakan salah satu bentuk ungkapan cinta Rumi yang begitu besar 
terhadap Syams. Di samping itu, melalui gerakan berputar dalam tari 
Sema, Rumi ingin menyebarkan cinta terhadap Tuhan kepada manusia yang 
ada di muka bumi ini. Hal ini disebabkan karena Rumi tidak pernah 
berhenti mencintai Tuhan. Dengan demikian, Rumi mengajak pengikutnya, 
bahkan umat Islam di dunia menari dan berputar dengan hanya mengingat 
Allah SWT. semata dalam hatinya. 
Istilah “mengingat” dalam bahasa
 Arab disebut dengan istilah “zikir”. Dengan kata lain, tari mistis Sema
 merupakan salah satu metode zikir untuk selalu mengingat Tuhan dengan 
menghilangkan segala macam pikiran kecuali Allah SWT. Tari Sema sampai 
saat ini masih digunakan oleh beberapa tarikat yang ada di dunia, 
seperti tarikat Chisty di India, Maulawiyah di Turki, dan juga Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani
 yang mengadakan praktik tari Sema ketika mereka tengah berzikir dan 
kemudian ditutup dengan pembacaan doa yang semua itu terangkum dalam 
praktik zikir khatam khawajagan. Dapat dikatakan pula bahwa tari 
Sema merupakan salah satu metode zikir yang diterapkan Tarikat 
Naqsyabandiyah Haqqani dengan diiringi alat musik rebana dan rebab, 
seperti halnya alat musik marawis. Bedanya, musik pada tari Sema selalu 
diawali dengan meniupkan seruling khas Turki yang dikenal dengan nama 
Ney. 
Mengenai alat musik yang 
digunakan ketika tari Sema berlangsung, masing-masing memiliki kisah 
tersendiri. Beberapa diantaranya adalah rebab dan seruling Ney. Kisah 
Rebab, ada seorang gadis yang sangat mengagumi Rumi, hingga suatu ketika
 ia senantiasa memainkan rebabnya, meskipun sewaktu ayahnya masih hidup 
telah melarangnya untuk tidak memainkan alat musik tersebut. Walaupun 
demikian, gadis tersebut tetap terus memainkannya. Rumi mendengarkannya 
dengan perasaan penuh cinta. Oleh karena itulah, dalam musik tari Sema 
terdapat alat musik rebab. 
Dikatakan pula bahwa pada saat 
itu keadaan tanahnya sangat gersang. Namun, ketika Rumi menari, 
mawar-mawar pun berkembang karena cinta. Oleh sebab itulah, cinta 
dilambangkan dengan bunga mawar. Simbol mawar ini juga dapat dilihat 
ketika para darwis (penari Sema) hendak merentangkan kedua tangannya 
seolah-olah menggambarkan bunga mawar yang sedang bermekaran. 
Sumber: 
- Diambil dari berbagai sumber
- Dikutip dari Jalan Cinta Rumi - The Way of Love (Nigel Watts)




















 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Prediksi Togel Mbah Bonar Taipei 29 November 2020 Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!
BalasHapusmakasih yah kak untuk refrensinya
BalasHapusvibratory roller