WORLD TRADE ORGANISATION
WORLD TRADE ORGANISATION
Hukum Organisasi Internasional
Oleh :
Setyakandhy
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2009
ABSTRAKSI
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar Negara, Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” , maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Di dalam perkembangannya, WTO memiliki 5 (lima) prinsip dasar GATT/WTO. Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) memuat kurang lebih 145 ketentuan khusus yang dikenal dengan istilah Special and Differential Treatment (S&D), ketetuan yang berlaku bagi anggota-anggota WTO yang berasal dari negara-negara sedang berkembang (NSB). Meskipun telah menjadi bagian integral dari Perjanjian WTO, secara teoretis eksistensi S&D tersebut masih mengundang kontroversi. Sekilas memang WTO seakan memntingkan kepentingan Negara berkembang, tetapi dalam prakteknya seringkali Negara – negara berkembang yangharus menerima kerugian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional.
Peluang Indonesia di WTO soal Mobnas diperdebatkan JAKARTA (Bisnis):[1]
Pengamat berbeda pendapat tentang posisi Indonesia sebagai negara berkembang yang berhak memperoleh perlakuan khusus [special and deferential treatment] pada perdebatan soal Mobnas diWTO.
Pengamat ekonomi dari CSIS Mari Elka Pangestu mengemukakan pemerintah perlu membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara berkembang yang berhak memperoleh perlakuan khusus untuk memenangkan perdebatan soal Program Mobnas di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Pembuktian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu kartu truf untuk dimainkan di meja WTO. Sedangkan pembuktiannya adalah dengan menunjukkan neraca pembayaran dan fakta bahwa Program Mobnas [Mobil Nasional] merupakan infant industry," ujarnya kemarin. Menurut dia, penggunaan status sebagai negara berkembang memang dimungkinkan secara hukum. Namun Mari meragukan apakah masalah Mobnas dapat masuk kategori tersebut secara mudah. "Preseden selama ini membuktikan bahwa negara berkembang yang pernah menggunakan pengecualian seperti itu tidak banyak."
Dia mengaku tidak mempunyai data rinci mengenai keberhasilan Negara berkembang menerapkan jurus tersebut. Selain itu, jarang terjadi bahwa negara berkembang menggunakan alasan itu di forum WTO. "Dugaan saya mengapa negara berkembang jarang menggunakannya karena mereka sulit membuktikan."
Pengamat industri otomotif Soehari Sargo mengatakan berdasarkan Artikel 23 [Pasal XXVII GATT] bagian 8, negara berkembang boleh memberikan subsidi ke perusahaan di negaranya selama lima tahun untuk pengembangan ekonominya. Tapi, lanjutnya, pemberian subsidi tersebut dapat dibenarkan bilai disampaikan terlebih dahulu ke WTO sebelum program dilaksanakan. "Kalau industrinya memang benar-benar belum ada, dan pemerintah memberikan subsidi bagi perusahaan yang berniat mengembangkan industri tersebut... itu betul. Tapi untuk kasus Mobnas, status industrinya yang diperdebatkan."
Soalnya, tutur Soehari, apakah kegiatan perakitan otomotif yang berdiri selama 20 tahun itu tidak dapat dianggap sebagai industri. Peluang sangat kecil, Menurut Bob Widyahartono, Dekan FE Universitas Indonusa Esa Unggul, peluang Indonesia memenangkan keluhan Jepang soal Mobnas sangat kecil.
Sebab, ujarnya, argumen bahwa industri otomotif Indonesia sebagai infant industry [bayi] yang mesti dilindungi tidak relevan lagi. "Indonesia sudah menjadi middle development, jadi alasan infant untuk memenangkan konsultasi di WTO sangat kecil," katanya.
Mari juga mengingatkan pemerintah bahwa yang dihadapi Indonesia adalah negara yang sangat berpengalaman dalam sengketa perdagangan. "Baik sebagai 'tertuduh' maupun 'penuduh'.". Tindakan Jepang mengadukan masalah Mobnas ke WTO, lanjutnya, merupakan keputusan yang sudah matang. "Mereka tentu tidak ringan tangan memasuki proses ke WTO. Mereka sudah mempelajarinya dengan baik."
Menurut Mari, negara berkembang memang masih dimungkinkan 'melanggar' ketentuan WTO untuk sementara waktu dengan meminta special and deferential treatment. Pemerintah, lanjutnya, perlu mengubah kebijakan Mobnas dengan memberikan kesempatan kepada negara lain sehingga tidak melanggar prinsip non- diskriminasi WTO. Menurut Mari, dengan adanya WTO, posisi Indonesia menjadi lebih baik karena dapat berargumentasi dengan negara lain sepanjang menggunakan instrumen WTO.
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994.
Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” , maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban. Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang (opportunity), tetapi juga ancaman (threat).
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah WTO dan GATT?
2. Apakah Prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam WTO?
3. Bagaimana perlindungan terhadap kepentingan nasional melalui pengucualian penerapan Pinsip-prinsip WTO terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui secara singkat sejarah WTO dan GATT
2. Untuk mendeskripsikan prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam WTO
3. Untuk mendeskripsikan perlindungan apa yang diberikan terhadap kepentingan nasional melalui pengucualian penerapan prinsip-prinsip WTO terutama bagi negara-negara berkebang seperti Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah World Trade Organisation dan GATT
I. Sejarah pembentukan
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tariff. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
II. Putaran-putaran perundingan
Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.
III. Persetujuan-persetujuan WTO
Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi.
Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi:
1. Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT)
2. Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS)
3. Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/ TRIPs)
4. Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)
Persetujuan-persetujuan di atas dan annexnya berhubungan antara lain dengan sektor-sektor di bawah ini:
· Pertanian
· Sanitary and Phytosanitary/ SPS
· Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing)
· Standar Produk
· Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs)
· Tindakan anti-dumping
· Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods)
· Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspection)
· Ketentuan asal barang (Rules of Origin)
· Lisensi Impor (Imports Licencing)
· Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and Countervailing Measures)
· Tindakan Pengamanan (safeguards)
Untuk jasa (dalam Annex GATS):
· Pergerakan tenaga kerja (movement of natural persons)
· Transportasi udara (air transport)
· Jasa keuangan (financial services)
· Perkapalan (shipping)
· Telekomunikasi (telecommunication)
IV. Struktur WTO
Badan tertinggi dalam struktur WTO adalah Ministerial Conference (MC) yaitu pertemuan tingkat menteri perdagangan negara anggota WTO yang diadakan sekali dalam dua tahun.
Ministerial Conference ini mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atas semua hal-hal yang dirundingkan ditingkat bawah dan menetapkan masalah-masalah yang akan dirundingkan dimasa mendatang. Struktur dibawah Ministerial Conference adalah General Council (GC) yang membawahi 5 badan yaitu :
i. Council For Trade in Goods (CTG) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan barang . yang membawahi berbagai komite ditambah Kelompok Kerja (Working Group) serta badan yang khusus menangani masalah texstil dan pakaian jadi yaitu Textiles Monitoring Body (TMB). Komite dibawah CTG adalah Komite Market Access, Komite Agriculture, Komite Sanitary and Phytosanitary, Komite Rules of Origin, Komite Subsidies and Countervailing measures, Komite Custom Valuation, Komite Technical Barriers to Trade, Komite Anti-dumping Practices, Komite Import Licencing dan Komite Safequard.
ii. Council For Trade in Services (CTS),Council For Trade in Services hanya membawahi satu committee yaitu Committee Trade in Financial Services ditambah dengan tiga Negotiating Group (NG) yaitu NG on Maritime Transport Services, NG. On Basic Telecommunication dan NG on Movement of Natural Persons ditambah lagi dengan satu Working Party (WP) yaitu WP . on Professional Services.
iii. Council For Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Council For TRIPs).
iv. Dispute Setlement Body (DSB)
v. Trade Policy Review Body (TPRB).
Disamping itu terdapat pula empat Komite yang karena sifat dan subtansinya -- pengawasannya berada dibawah Ministerial Conference dan General Council yaitu : (1) Komite Trade and Environ ment; (2) Komite Trade and Development; (3) Komite Balance of Payments dan (4) Komite Budget-Finance and Administration.
Sedangkan dibawah General Council terdapat pula dua buah Komite dan badan internasional yang menangani perjanjian-perjanjian yang sifatnya plurilateral yaitu (1) Komite Trade in Civil Aircraft dan (2) Komite Government Procurement, International Dairy Council dan International Meat Council.
V. Persetujuan atau komitmen yang ada dalam WTO
- Marrakesh Agreement Establishing World Trade;
- Understanding on the Interpretation of Article II: (b) of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994;
- Understanding on the Interpretation of Article XVII of the General Agreement on Tariffs and 1994;
- Understanding on Balance -of-Payments Provisions of the General Agreement on tariffs and trade 1994;
- Understanding on the Interpretation of Article XXIV of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994;
- Understanding in Respect of Waivers of Obligations under the General Agreement on Tariffs and Trade 1994;
- Understanding on the Interpretation of Article XXVIII of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994;Marrakesh Protocol to the General Agreement on Tariffs and Trade 1994;
- Agreement on Agriculture;
- Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures;
- Agreement on Textile and Cloting;
- Agreement on Technical Barriers to Trade;
- Agreement on Trade – Related Investment Measures;
- Agreement on Implementation of Article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994;
- Agreement on preshipment Inspection;
- Agreement on Rules of Origin;
- Agreement on Import Licensing Procedures;
- Agreement on subsidies and Countervailing Measures;
- Agreement on Safeguards;
- Annex 1B: General Agreement on Trade in services;
- Agreement on Trade in Civil Aircraft;
- Agreement on Government Procurement;
- International Dairy Agreement;
- International Bovine Meat Agreement.
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa perdagangan internasional memegang peranan sangat menentukan dalam meneiptakan kemakmuran seluruh bangsa, tetapi di pihak lain perdagangan dan investasi internasional itu juga dapat menyengsarakan bangsa sehingga akhimya menjadi negeri jajahan. Oleh sebab itu kita perlu bertindak sangat hati-hati. Di bidang perdagangan internasional, saling ketergantungan tidak dapat dihindarkan lagj pada saat ini, apalagi dalam abad ke 21. World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama. WTO ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Melalui WTO, diluncurkan suatu model perdagangan dimana kegiatan perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Pada prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini. Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas tersebut, World Trade Organization (WTO) memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar World Trade Organization (WTO). Yang terpenting di antara prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Prinsip Perlindungan Melalui Tarif, Prinsip National Treatment, Prinsip Most Favoured Nations, Prinsip Reciprocity (Timbal Balik), Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif. Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar (utama) WTO yang menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.
2.2 Prinsip-Prinsip Dasar WTO
Di dalam perkembangannya, WTO memiliki 5 (lima) prinsip dasar GATT/WTO yaitu :
1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favoured Nations Treatment-MFN).
Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang dibuat atau ditandatangani dalam rangka GATT-WHO harus diperlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat. Misalnya suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya.
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
2. Pengikatan Tarif (Tariff binding)
Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 dimana setiap negara anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan untuk menciptakan “prediktabilitas” dalam urusan bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif bea masuk.
3. Perlakuan nasional (National treatment)
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri. Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
4. Perlindungan hanya melalui tarif.
Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.
5. Perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential Treatment for developing countries – S&D).
Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara berkembang dalam perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.
GATT/WTO mengatur berbagai pengecualian dari prinsip dasar seperti :
- Kerjasama regional, bilateral dan custom union.
Pasal XXIV GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk membentuk kerjasama perdagangan regional, bilateral dan custom union asalkan komitmen tiap-tiap anggota WTO yang tergabung dalam kerjasama perdagangan tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO lain yang tidak termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.
- Pengecualian umum.
Pasal XX GATT 1994 memperkenankan suatu negara untuk melakukan hambatan perdagangan dengan alasan melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan ;importasi barang yang bertentangan dengan moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan barang-barang pusaka atau yang bernilai budaya, perdagangan emas.
- Tindakan anti- dumping dan subsidi
Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Antidumping dan subsidi memperkenankan pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan hanya kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti bersalah melakukan dumping dan mendapatkan subsidi.
- Tindakan safeguards.
Pasal XIX GATT 1994 dan persetujuan Safeguard memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri.
- Tindakan safeguard untuk mengamankan balance of payment
- Melarang masuknya suatu produk yang terbukti mengandung penyakit berbahaya atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
2.3 Penerapan Prinsip-Prinsip Dasar WTO terhadap Kepentingan Nasional Negara Berkembang
Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) memuat kurang lebih 145 ketentuan khusus, dikenal dengan istilah Special and Differential Treatment (S&D), bagi anggota-anggota WTO yang berasal dari negara-negara sedang berkembang (NSB). Meskipun telah menjadi bagian integral dari Perjanjian WTO, secara teoretis eksistensi S&D tersebut masih mengundang kontroversi. Sekilas, eksistensi S&D tampak inkonsisten dengan filosofi dasar Perjanjian WTO sendiri, yakni liberalisme. Sebagaimana yang terlihat dari istilah yang digunakan dan definisinya, S&D menghendaki adanya suatu perbedaan perlakuan di WTO yang menguntungkan anggota-anggota yang berasal dari NSB. Filosofi liberal WTO, terutama yang tercermin dari prinsip-prinsip Most-Favoured Nation Treatment (MFN) dan National Treatment (NT), menghendaki perlakuan yang sama terhadap semua anggota.
Dengan kalimat lain, S&D merupakan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan (a means of development) dan instrumen untuk menggapai keadilan (a means of justice) bagi NSB dalam perdagangan internasional di bawah payung WTO. Keduanya sejalan dengan tujuan utama, bahkan merupakan elemen-elemen utama dari liberalisme.
S&D sebagai suatu istilah eksplisit merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini baru dikenal secara luas setelah berdirinya WTO pada tahun 1994. Istilah S&D dapat ditemukan di dalam berbagai perjanjian WTO, seperti the Agreement on Agriculture (AA), the Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), dan the Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM). Di dalam AA, istilah tersebut dapat dilihat dalam Mukadimahnya yang berbunyi:
…having regard to the agreement that special and differential treatment for developing countries is an integral element of the negotiations, and taking into account the possible negative effects of the implementation of the reform programme on least-developed and net food-importing developing countries
Sementara istilah S&D dalam AA, sebagaiman tersebut di atas, digunakan sebagai suatu frase dalam Mukadimah, di dalam SPS dan SCM istilah S&D tercantum dalam judul dari beberapa pasal perjanjiannya itu sendiri. Pasal 10 SPS berjudul Special and Differential Treatment, dan Pasal 27 SCM berjudul Special and Differential Treatment of Developing Country Members
Sebagai suatu istilah yang implisit, S&D dapat ditemukan baik dalam beberapa ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) maupun WTO. Di dalam GATT, S&D termanifestasi dalam berbagai istilah, baik yang digunakan sebagai judul beberapa pasal tertentu maupun sebagai frase di dalam perjanjiannya itu sendiri. Pasal XVIII GATT, sebagai contoh, menggunakan istilah Governmental Assistance to Economic Development’ sebagai judul dan Bagian IV diberi judul Trade and Development. Beberapa istilah, yang secara implicit merujuk kepada S&D digunakan dalam beberapa pasal GATT, seperti istilah special measures dan more favourable and acceptable conditions. Dalam ketentuan-ketentuan WTO yang lain, istilah-istilah special treatment, special regard, dan special attentiondigunakan.
Sebagai hakikat dari sistem liberalisme adalah kebebasan dalam berkegiatan ekonomi berupa produksi, konsumsi maupun perdagangan dengan merebut pasar tanpa campur tangan pihak manapun. Segala bentuk kejadian perkonomian terjadi karena mekanisme pasar berupa penawaran dan permintaan. Sebagaimana suatu pertarungan, free fight liberalism yang diusung dalam era globalisasi belakangan ini menjadi semakin sadis. Persaingan antara multinasional corporation raksasa dengan usaha kecil dan menengah tentu saja bukan persaingan yang adil. Juga persaingan antara negara maju dengan negara berkembang bahkan negara terbelakang juga dipaksakan untuk bertarung bebas. Dapat ditebak, pihak yang lemah pasti akan kalah dan dipastikan mati dalam pertarungan. Oleh karena itu, GATT/WTO menjadi semacam wasit/juri pertandingan dalam free fight liberalism tingkat global.
Slogan TINA (There Is No Alternative) dimana suatu keharusan berlaku diantara negara-negara yang melakukan perdagangan internasional untuk tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan GATT/WTO. Konsekuensi yang diperoleh ketika suatu negara yang melanggar kesepakatan GATT/WTO akan sangat berpengaruh dan merugikan negara itu sendiri, karena akan seperti dikucilkan dari pergaulan perdagangan global.
Kebijakan-kebijakan nasional negara juga tunduk dan patuh terhadap kesepakatan GATT/WTO sehingga kepentingan nasional yang berusaha melindungi industri nasional maupun peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi hal yang dinomorduakan dibandingkan dengan kepentingan perdagangan bebas yang dinikmati oleh eksportir-eksportir asing.
Walaupun GATT/WTO masih memaklumi dan memaafkan negara-negara berkembang untuk menerapkan pemberlakuan kesepakatan WTO dengan memberi waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan infrastruktur dan suprastruktur. Yang pada akhirnya mewajibkan seluruh anggota WTO untuk berada dalam semangat free fight liberalism tanpa terkecuali. Sehingga globalisasi merupakan suatu kepastian bagi seluruh negara di dunia dan hanya menunggu waktu saja untuk terjadi.
Dengan adanya prinsip non-diskriminasi maka perusahaan dari negara berkembang akan mengalami kesulitan dalam bersaing dengan negara maju yang lebih maju tingkat teknologinya. Akan tetapi, negara-negara berkembang rentan akan kerugian akibat perdagangan internasional yang hanya memiliki motif akumulasi laba belaka. Banjirnya komoditas produksi asing dalam pasar lokal akan membuat pelaku ekonomi lokal terpukul dengan penurunan harga dan trend konsumsi pasar yang akan membuat permintaan produk lokal menurun bahkan mati di pasar dalam negeri. Negara-negara berkembang sangat rentan akan suatu injury dalam perekonomian nasional karena berbagai sebab, salah satunya adalah minimnya fasilitas yang disediakan negara pada pelaku ekonomi nasional dan penguasaan teknologi serta sumberdaya manusia yang kalah jauh tertinggal dengan negara-negara maju. Apalagi negara-negara berkembang merupakan pasar yang harus mengkonsumsi produk-produk asing buatan negara-negara maju yang mengalami overproduction, sehingga pasar domestik akan terus dipaksa membeli komoditas asing. Jika suatu negara mengalami peningkatan impor yang signifikan dan tiba-tiba serta mengancam perekonomian nasional maka ini disebut sebagai injury. Jika terkena injury maka suatu negara berhak melakukan tindakan safeguards dengan pembatasan impor untuk melindungi perekonomian nasional. Tindakan safeguards ini pada hakikatnya merupakan penyimpangan terhadap prinsip free fight liberalism, namun terpaksa harus dilakukan demi keberlangsungan perekonomian nasional khususnya kepada negara-negara berkembang yang rentan terhadap injury semacam itu.
Oleh karena itu, WTO melakukan suatu perlakuan khusus terhadap negara-negara berkembang sesuai salah satu prinsip yaitu Special and Differential to Developing Nations yang dapat mengecualikan suatu negara (berkembang) untuk dimaafkan bila terpaksa melanggar kesepakatan WTO.
Safeguards Negara-negara Berkembang
Safeguards dikenal dalam Pasal XIX poin pertama GATT 1994 tentang Emergency Action on Imports of Particular Products sebagaimana tertulis sebagai berikut:
(a) If, as a result of unforeseen developments and of the effect of the obligations incurred by a contracting party under this Agreement, including tariff concessions, any product is being imported into the territory of that contracting party in such increased quantities and under such conditions as to cause or threaten serious injury to domestic producers in that territory of like or directly competitive products, the contracting party shall be free, in respect of such product, and to the extent and for such time as may be necessary to prevent or remedy such injury, to suspend the obligation in whole or in part or to withdraw or modify the concession.
(b) If any product, which is the subject of a concession with respect to a preference, is being imported into the territory of a contracting party in the circumstances set forth in sub-paragraph (a) of this paragraph, so as to cause or threaten serious injury to domestic producers of like or directly competitive products in the territory of a contracting party which receives or received such preference, the importing contracting party shall be free, if that other contracting party so requests, to suspend the relevant obligation in whole or in part or to withdraw or modify the concession in respect of the product, to the extent and for such time as may be necessary to prevent or remedy such injury.
Agreement on Safeguards menetapkan bahwa suatu negara anggota tidak boleh menggunakan atau mempertahankan pembatasan ekspor sukarela maupun penetapan persetujuan pemasaran terarah maupun kebijaksanaan lain yang serupa terhadap sisi ekspor maupun impor. Setiap kebijaksanaan sejenis itu yang masih berlaku pada saat perjanjian ini dinyatakan berlaku atau harus dihapus secara bertahap dalam waktu 4 (empat) tahun. Pengecualian dapat dibuat untuk suat kebijaksanaan khusus namun harus disetujui bersama oleh negara anggota GATT(WTO) lainnya.
Dalam keadaan mendesak, suatu kebijaksanaan safeguards sementara (provisional safeguards) dapat diterapkan atas dasar penetapan pendahuluan menghadapi kerugian yang riil. Jangka waktu berlakunya kebijaksanaan safegurads sementara tersebut tidak boleh melebihi 200 (dua ratus) hari. Agreement on Safeguards juga menentukan kriteria untuk penetapan adanya suatu serious-injury dan pengaruh spesifiknya terhadap impor sebagai berikut:
- Tindakan safeguards dapat diterapkan hanya sepanjang diperlukan untuk melindungi atau mengatasi kerugian yang serius dan memudahkan penyesuaiannya.
- Apabila pembatasan yang digunakan, diterapkan dalam bentuk pembahasan kuantitatif atau quantitative restriction maka hal itu tidak boleh mengurangi jumlah impor rata-rata per tahun selama-lama 3 (tiga) tahun berturut-turut sesuai data statistik yang tersedia, kecuali ada alasan yang secara jelas diberikan yaitu bahwa tingkat perbedaan tersebut diperlukan untuk melindungi atau mengatasi kerugian yang serius.
Safeguards adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan serious-injury terhadap industri domestik. Tindakan safeguards tidakboleh diterapkan terhadap suatu produk yang berasal dari suatu negara berkembang yang menjadi anggota perjanjian ini jika pangsa impor dari produk tersebut tidak lebih dari 3% (tiga persen). Namun larangan penetapan tindakan safeguards terhadap negara berkembang yang menjadi anggota perjanjian yang pangsa impornya kurang dari 3% hanya berlaku bila secara kolektif pangsa negara berkembang tidak lebih dari 9% (sembilan persen) dari keseluruhan impor produk yang bersangkutan.
Selanjutnya ditentukan bahwa negara berkembang mendapat hak untuk memperpanjang jangka waktu penerapan suatu tindakan safeguards yang dilakukannya untuk suatu kurun waktu sampai melebihi 2 (dua) tahun di luar batas maksimal yang normal. Negara tersebut juga dapat menerapkan kembali suatu tindakan safeguards terhadap suatu produk yang pernah menjadi subjek tindakan semacam itu untuk suatu kurun waktu yang sama dengan setengah dari jangka waktu tindakan sebelumnya, atau tidak kurang dari dua tahun.
Perlakuan dan pembedaan yang diberikan oleh WTO
Committee on Governmental Procurement
Negara berkembang yang berminat masuk dalam perjanjian khusus ini dapat dikecualikan dari ketentuan mengenai national treatmnent melalui negosiasi dengan negara-negara penadatangan lainnya. Pengecuaian tersebut dapat diberikan kepada negara-negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran ataupun karena situasi tingkat perkembangan, keuangan dan perdagangannya tidak memungkinkan negara yang bersangkutan untuk dapat memenuhi ketentuan mengenai national treatment tersebut. Selain itu bagi negara-negara berkembang yang menjadi anggota suatu regional-global arrangement antara negara-negara berkembang dapat dikecualikan dari ketentuan national treatment tersebut (Pasal III: 4, 5 ,6 dan 7)
Adanya Committee on Government Procurement yang merupakan badan pengawas pelaksanaan Agreement tersebut, dan diikutkannya wakil dari negara berkembang dalam Committee tersebut maka kepentingan negara berkembang dapat diperjuangkan.
Adanya bantuan teknis yang dapat diberikan atas permintaan negara berkembang yang bersangkutan. Bantuan tersebut dimaksudkan untuk membantu negara-negara berkembang untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi dalam bidang government procurement(Pasal III: 8 dan 9)
Negara-negara maju akan mendirikan information centre untuk menampung dan menjawab pertanyaan yang diajukan negara berkembang sehubungan dengan masalah government procurement (Pasal III:10)
Mengenai special and differential treatment, oleh committee secara berkala akan dilakukan peninjauan kembali apakah pengecualian yang diberikan kepada suatu negara akan diperpanjang waktunya. (Pasal III: 13)
Waiver dan Pembatasan Darurat terhadap Impor
GATT mengijinkan diadakannya perkecualian dalam bentuk waiver dan langkah darurat lainnya. Perkecualian dalam bentuk waiver misalnya suatu negara dalam melaksanakan kebijakan bidang pertaniannya sebenarnya melanggar GATT, tetapi karena telah ditetapkan sebelum adanya GATT, maka kebijakan tersebut memperoleh waiver (pelepasan tuntutan).
Dalam kasus tertentu suatu negara dapat menghadapi suasana darurat yang memerlukan penanganan dengan mengambil langkah proteksi karena industri dalam negerinya menghadapi masalah. Pasal XIX mengizinkan suatu negara untuk mengambil langkag protektif tersebut. Tetapi pasal XIX menyatakan bahwa langkah protektif tersebut adalah langkah darurat yang bersifat sementara. Perkecualian tersebut dikenal sebagai safeguards. Dengan syarat yang ditentukan secara khusus, suatu negara anggota GATT dapat menerapkan suatu restriksi dalam impornya atau mencabut konsesi tariff yang telah diberikan kepada negara lain untuk produk-produk yang telah mengalami peningkatan impor yang sedemikian besar shingga menimbulkan kesulitan yang berat untuk industri dalam negeri negara-negara yang bersangkutan.
Perkecualian untuk Perjanjian Perdagangan Regional
Perjanjian perdagangan regional banyak dimaksudkan bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan dalam bentuk bea masuk (tariff) atau hambatan lainnya (non-tariff). Perjanjian semacam ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip most-favored-nation.
Namun demikian, Pasal XXIV GATT telah mengizinkan perjanjian perdagangan regional, tetapi dengan ketentuan bahwa tujuannya untuk meningkatkan perdagangan, tanpa harus meningkatkan bea masuk maupun hambatan non-tariff tambahan terhadap barang dari negara-negara non-anggota sehingga menimbulkan hambatan pada taraf yang lebih tinggi daripada yang berlaku sebelum adanya perjanjian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlidungan Terhadap Kepentingan Nasional Melalui Pengecualian Penerapan Prinsip-prinsip WTO terutama bagi Negara-negara Berkembang seperti Indonesia diberikan dengan perlakuan-perlakuan khusus seperti:
Bagi negara-negara berkembang yang menghadapi masalah neraca pembayaran yang serius, dapat diizinkan menggunakan langkah restriksi kuantitatif dengan kriteria yang lebih lunak dari negara maju (Pasal XVIII)
Negara berkembang juga mendapat hak untuk memperpanjang jangka waktu penerapan suatu tindakan safeguards yang dilakukannya untuk suatu kurun waktu sampai melebihi 2 (dua) tahun di luar batas maksimal yang normal. Negara berkembang tersebut juga dapat menerapkan kembali suatu tindakan safeguards terhadap suatu produk yang pernah menjadi subjek tindakan semacam itu untuk suatu kurun waktu yang sama dengan setengah dari jangka waktu tindakan sebelumnya, atau tidak kurang dari dua tahun.
Selain itu secara umum, negara-negara berkembang diberi waktu yang lebih panjang untuk menerapkan isi perjanjian-perjanjian WTO daripada negara-negara lain. Negara-negara berkembang diberikan kesempatan untuk mempersiapkan infrastruktur dan suprastruktur bagi perjanjian-perjanjian dan aturan-aturan WTO dengan diberi jangka waktu pemberlakuan yang lebih. Dengan begitu negara-negara berkembang diharapkan dapat lebih siap bersaing dengan negara-negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
H. S. Kartadjoemena, “GATT dan WTO; Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan”, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), 1996.
“GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round”, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), 1997
Dr. Iskandar Panjaitan dan Ratna Juwita Supratiwi, World Trade Organization (WTO)/ Organisasi Perdagangan Dunia, Biro Kerjasama Luar Negeri, Departemen Pertanian
WTO, Understanding the WTO, World Trade Organization, 2003.
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekubang, Deplu., Persetujuan Bidang Pertanian, Terjemahan, 2004.
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekubang, Deplu., Sekilas WTO. World Trade Organization, 2003.
WTO, The Legal Text, The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, 2002
Nandang Sutrisno, SH., LLM., M.Hum.,Ph.D., EKSISTENSI KETENTUAN KHUSUS BAGI NEGARA BERKEMBANG DALAM PERJANJIAN WORLD TRADE ORGANIZATION, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2008
World Trade Organization, rue de Lausanne 154, CH-1211 Geneva 21, Switzerland
www.wikipedia.com
0 komentar: