Perlindungan Anak Dalam Konflik Bersenjata
PERLINDUNGAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA
DITINJAU DARI SEGI HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
(Studi Perlindungan Anak dalam Konflik Bersenjata ditinjau dari hukum Humaniter)
MAKALAH
Digunakan Untuk Memenuhi
Nilai Ujian Tengah Semester
Hukum Humaniter Internasional
Oleh :
Setyakandhy Imam Kusuma
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum
perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter
internasional, atau hukum sengketa bersenjata memilik sejarah
yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya
dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa
adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun
sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun
perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa
keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu
sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang
mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang
mengatur perang antara bangsa-bangsa.
Dalam
sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan
aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern
dari hukum humaniter bar dimulai pada abad ke-19. Sejak itu,
negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis,
yang berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit atas peperangan
modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara
kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara.
Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah
negara di selu ruh dunia telah memberikan sumbangan atas
perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum
humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang
benar-benar universal.
Pada
umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam a turan tingkah
laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok
orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali
melalui sejarah di hampir semua Negara atau peradaban di dunia.
Dalam pera daban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil
(just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil,
anak- anak, perempuan, kombatan yang meleta kkan senjata dan tawanan
perang.
Keempat
Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan
perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi,
ikut serta secara langsung dalam permusuhan (yaitu korban luka, korban
sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik
bersenjata, dan orang sipil).
Pandangan
umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan
disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan yang termaktub dalam
hukum tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk
menghormatinya, oleh kurang memadainya sarana yang tersedia untuk
menegakkannya, oleh ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut
dalam situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya pengetahuan para
pemimpin politik, komandan, kombatan, dan masyarakat umum tentang hukum
tersebut. Konferensi International tentang Perlindu ngan Korban Perang
yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan Agustus-September 1993
membahas secara khusus cara-cara untuk menanggulangi pelanggaran HHI
tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah perjanjian internasional
baru.
Tujuan Hukum Humaniter Intenasional
Tujuan
studi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (HHI Kebiasaan) ini
ialah untuk mengatasi sebagian dari masalah-masalah yang berkaitan
dengan penerapan Hukum Humaniter Internasional Perjanjian (HHI
Perjanjian). HHI Perjanjian telah disusun dengan baik dan telah
mencakup banyak aspek menyangkut peperangan. Dengan demikian, HHI
Perjanjian memberikan perlindungan kepada beragam orang selama
berlangsungnya perang dan membatasi sarana dan cara berperang yang boleh
dipakai. Konvensi-konvensi Jenewa Beserta Protokol-protokol Tambahannya
merupakan rezim peraturan yang ekstensif untuk melindungi orang-orang
yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam
permusuhan. Aturan-aturan me ngenai sarana dan cara berperang
sebagaimana termaktub dalam HHI Perjanjian berasal dari Deklarasi St.
Petersburg 1868, Peraturan Den Haag 1899 dan 1907, dan Protokol Gas
Jenewa 1925. Aturan-aturan tersebut belum lama ini dijabarkan lebih
lanjut ke dalam Konvensi Senjata Biologi 1972, Protokol Tambahan I dan
II Tahun 1977 untuk Konvensi-konvensi Jenewa, Konvensi Senjata Kimia
1993, dan Konvensi Ottawa 1997 tentang Pelarangan Ranjau Darat
Antipersonil. Perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik
bersenjata diatur secara rinci dalam Konvensi Den Haag 1954 beserta
kedua Protokolnya. Statuta Pengadilan Pidana Internasional 1998 berisi,
antara lain, daftar kejahatan-kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi
Pengadilan tersebut.
Keempat
Konvensi Jenewa 1949 memang telah diratifikasi oleh semua negara di
dunia, tetapi tidak demikian halnya dengan perjanjian- perjanjian
internasional lainnya dalam HHI, misalnya saja: Protokol-protokol
Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Walaupun Protokol Tambahan
I telah diratifikasi oleh lebih dari 160 Negara, efektivitasnya dewasa
ini masih terbatas karena beberapa Negara tertentu yang terlibat dalam
konflik bersenjata internasio nal masih belum menjadi pesertanya.
Demikian pula, Protokol Tambahan II telah diratifikasi o leh hampir 160
Negara, tetapi beberapa Negara tertentu yang dewasa ini terlibat dalam
konflik bersenjata non-internasional belum meratifikasinya. Yang kedua,
banyak dari konflik-konflik bersenjata yang dewasa ini berlangsung
adalah konflik bersenjata non-internasional, dan konflik bersenjata
jenis ini belum diatur secara cukup rinci o le h HHI Perjanjian. Hanya
perjanjian internasional dalam jumlah terbatas saja yang berlaku dalam
konflik bersenjata non- internasional, yaitu Konvensi Senjata
Konvenvional Tertentu sebagaimana telah diamandemen, Statuta Pengadilan
Pidana Internasional, Konvensi Ottawa tentang Pelarangan Ranjau Darat
Antipersonil, Konvensi Senjata Kimia, Konvensi Den Haag tentang
Perlindungan Benda Budaya beserta Protokol Kedua-nya dan, sebagaimana
telah disebutkan di atas, Protokol Tambahan II 1997 untuk
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada
keempat Konvensi Jenewa tersebut.
Protokol
Tambahan II masih belum cukup rinci dibandingkan dengan aturan-aturan
yang mengatur konflik bersenjata internasio nal sebagaimana terdapat
dalam Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I.
Perlindungan anak merupakan sebuah isu bagi setiap anak di setiap negara di dunia:
Pada
saat ini, lebih dari 300.000 tentara anak-anak, sebagian ber
usia sekitar delapan tahun, dieksploitasi dalam konflik bersenjata
di lebih dari 30 negara. Lebih dari 2 juta anak-anak di perki rakan
telah meninggal sebagai akibat langsung dari konflik bersenjata
semenjak tahun 1990.
Dalam
konflik bersenjata internasional sekalipun, anak-anak yang bukan bagian
dari permusuhan dilindungi oleh hukum humaniter internasional. Geneva
Conventions 1949 maupun Additional Protocols of 1997 memberikan
perlindungan khusus kepada anak-anak. Bahkan, seandainya apabila benar
ada anak-anak yang menjadi bagian dari permusuhan (orang dewasa) itu,
anak-anak tetap tidak kehilangan haknya atas perlindungan khusus.
Satu
serangan atas zona permukiman sipil di Qana saja sudah mudah menuduh
Israel melakukan kejahatan perang. Anak-anak dan warga sipil yang tidak
terkait konflik telah nyata menjadi korban bombardir Israel ahad lalu.
Dengan istrumen hukum humaniter Geneva Conventions 1949, Additional
Protocols 1977, maupun Statuta Rome of ICC, Israel melakukan kejahatan
perang.
Jauh
sebelum serangan Israel pada anak-anak di Qana, pada tahun 1974,
Majelis Umum PBB mengesahkan The Declaration on the Protection of Women
and Children in Emergency and Armed Conflict (Res 3318 (XXIX)).
Deklarasi ini memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan, yakni
dari serangan dan pengeboman menggunakan senjata kimia dan bakteri,
memenuhi semua konvensi dan semua instrumen internasional, semua usaha
untuk menghindari penderitaan anak dan perempuan dalam perang, dan
seterusnya. Sepatutnya PBB mengusut, melakukan respon keras, dan
menyeret Israel dalam kepatuhan total pada mekanisme PBB melindungi
anak-anak dalam perang sekalipun.
Sebagai
komisi independen perlindungan anak yang menjunjung hak-hak universal
anak, logis saja Komnas Perlindungan Anak berkepentingan menyuarakan
hak-hak anak korban perang, dan mendesak Indonesia lebih proaktif
mengambil partisipasi. Mengapa? Karena perang telah merusak peradaban
dan masa depan anak-anak. Cermatilah data dan informasi berikut ini.
Dari
beberapa laporan, konflik bersenjata berdampak buruk dan permanen
kepada anak-anak di seluruh dunia. Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF,
dalam State of the World's Children 1996, melaporkan dalam periode 1985-
1995 konflik bersenjata telah mengakibatkan dampak buruk dan permanen
pada anak-anak.
B. Rumusan Masalah
Dalam
kaitannya dengan pembahasan yang telah saya uraikan dalam latar
belakang diatas maka masalah pokok yang akan diteliti dalam tugasa akhir
ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah aturan-aturan yang mengatur tentang perlindungan anak-anak?
2. Bagaimana perlindungan terhadap anak-anak dalam konflik besenjata ditinjau dari hukum humaniter internasional?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur tentang perlindungan anak-anak
2. Untuk
mengetahui bagaimana perlindungan terhdap anak-anak dalam konflik
bersejataditinjau dari segi hukum humaiter internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERATURAN-PERATURAN YANG MENGATUR TENTANG PERLINDUNAN ANAK-ANAK
Standar Internasional Tentang Perlindungan Anak
Anak-anak
memiliki hak-hak untuk diakui dalam hukum internasional semenjak tahun
1924, ketika Deklarasi tentang Hak-hak Anak internasional yang pertama
diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa. Instrumen-instrumen hak-hak azasi
manusia berikutnya – dari Perserikatan Bangsa-bangsa, seperti
Deklarasi Universal Hak–hak Azasi Manusia 1948, dan
instrumen-instrumen regional seperti Deklarasi Amerika tentang
Hak-hak dan Kewajiban Manusia yang dibuat pada tahun yang sama –
mengakui secara lebih umum hak manusia untuk bebas dari kekerasan,
abuse, dan ekploitasi. Hak-hak ini berlaku bagi setiap orang, termasuk
anak-anak, dan dikembangkan lebih jauh dalam instrumen-instrumen seperti
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Politik dan Hak- hak Sipil 1966.
Konsensus
internasional yang dikembangkan mengenai perlunya suatu
instrumen baru yang akan secara eksplisit meletakkan dasar-dasar
mengenai hak-hak anak khusus dan istimewa. Pada tahun 1989, Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak diadopsi oleh Sidang
Majelis Umum. Konvensi ini dengan cepat menjadi perjanjian hak-hak azasi
manusia yang paling luas diratifi kasi dalam sejarah, diratifi kasi
hampir secara universal. Konvensi Hak-hak Anak, dalam beberapa hal
meningkatkan standar internasional mengenai hak- hak anak.
Konvensi
ini menjelaskan dan secara hukum mengikat beberapa hak-hak anak yang
dicantumkan pada instrumen-instrumen sebelumnya. Konvensi ini memuat
ketentuan-ketentuan baru yang berkaitan dengan anak, misalnya, yang
berkenaan dengan hak untuk berpartisipasi, dan prinsip bahwa dalam
semua keputusan yang menyangkut anak, kepentingan terbaik bagi
bagi anak harus diutamakan.
Konvensi
juga untuk pertama kalinya membentuk suatu badan internasional
yang bertanggung jawab untuk mengawasi penghormatan atas hak-hak anak,
yakni
Komite Hak-hak Anak (Committee on the Rights of the Child).
Pengakuan
hak-anak atas perlindungan tidak hanya terbatas pada Konvensi Hak-hak
Anak. Ada sejumlah instrumen, baik instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa
maupun instrumen dari badan internasional lainnya, yang juga memasukkan
hak-hak ini. Instrumen-instrumen itu meliputi:
•
Piagam Afrika tentang Hak-hak dan Kesejahteraan Anak, Organisasi
Persatuan Afrika yang sekarang disebut Uni Afrika (The African Charter
on the Rights and Welfare of the Child of the Organisation for African
Unity ) tahun 1993.
• Konvensi-konvensi Jenewa mengenai Hukum Humaniter Internasional (1949) dan Protokol Tambahannya (1977)
•
Konvensi Buruh Internasional No. 138 (1973), yang menyatakan
bahwa, secara umum, seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, tidak
boleh dipekerjakan dalam bidang-bidang pekerjaan yang berbahaya
bagi kesehatan dan perkembangan mereka, dan Konvensi Organisasi
Buruh Internasional No. 182 (1999) mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera untuk Menghapus Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak.
•
Protokol bagi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang
Kejahatan Transnasional Terorganisasi untuk Mencegah, Menekan dan
Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-anak.
Ratifikasi Instrumen Internasional
Badan-badan
pembuat undang-undang sebuah negara yang belum melakukan ratifi kasi
hendaknya mempertimbangkan ratifi kasi atau menyetujui
perjanjian-perjanjian internasional yang melindungi anak-anak dari
bahaya kon ik bersenjata, memastikan bahwa komitmen politik
mereka untuk membuat perlindungan anak menjadi permanen dan mengikat
secara sah. Beberapa instrument penting mengenai hal ini mencakup:
• Protokol Pilihan Konvensi Hak-hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Kon ik Bersenjata
• Protokol I dan Protokol II Konvensi Jenewa
•
Konvensi Ottawa 1997 tentang Pelarangan, Penumpukan, Pembuatan
dan Pengiriman Ranjau anti Personil dan Penghancurannya
•
Konvensi Paris 1993 tentang pelarangan pengembangan, pembuatan,
penyimpanan dan penggunaan senjata kimia dan penghancurannya.
Pertimbangan
harus diberikan untuk mengadopsi perjanjian-perjanjian yang
berkaitan dengan kerjasama dengan Negara lain dalam penuntutan
penjahat perang, misalnya, melalui ekstradisi penjahat perang yang
mencari perlindungan di Negara mereka.
Negara-negara anggota yang belum melaksanakannya dapat juga mempertimbangkan untuk menjadi anggota dari:
•
Statuta Mahkamah Internasional, yang mengakui kompetensi Mahkamah itu
untuk mengadili kejahatan–kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang.
•
Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967-nya.
Negara-negara anggota Uni Afrika hendaknya mempertimbangkan untuk
menjadi anggota Konvensi OAU 1969 yang Mengatur Aspek-aspek Khusus
Masalah Pengungsi di Afrika.
Reformasi Hukum
Perundang-undangan
Pidana hendaknya ditelaah kembali dengan tujuan untuk memastikan
bahwa pelanggaran berat hukum humaniter internasional --
termasuk eksekusi, penyiksaan, mutilasi dan kekerasan seksual terhadap
penduduk sipil dan serangan terhadap warga sipil yang disengaja—diakui
sebagai kejahatan, sebagaimana dipersyaratkan oleh Konvensi
Jenewa dan Protokol-protokolnya.
Perundang-undangan
mengenai imigrasi hendaknya ditelaah kembali dengan tujuan untuk
memastikan bahwa hak-hak berikut diakui:
•
Hak pencari suaka anak-anak atas perlakukan yang
berperikemanusiaan, hukum yang sesuai dan bantuan lainnya dan mendesak
agar keputusan mengenai permohonan mereka dilakukan segera.
•
Hak pengungsi anak-anak untuk tinggal dan dirawat oleh keluarganya.
Negara-negara yang mempunyai warga terusir harus sungguh–sungguh
mempertimbangkan diberlakukannya perundang-undangan berdasarkan pada
Prinsip-prinsip Panduan tentang Internal Placement.
Instrumen-instrumen hukum Internasional dan Regional
Menjadi
bagian dari instrumen hukum regional dan internasional yang
berurusan dengan perlindungan anak memberikan pesan yang sangat
jelas kepada masyarakat internasional dan pemangku kepentingan
(stakeholder) di tingkat domestik bahwa suatu negara berkomitmen untuk
menjamin perlindungan anak, serta menjamin penerapan undang-undang,
kebijakan, dan program-program untuk mencapai sasaran -sasaran itu.
Ada
sejumlah instrumen internasional yang mencermati dan menjawab
masalah perlindungan anak. Instrumen-intrumen ini meliputi:
• Konvensi Hak-hak Anak
• Kovenan Internasional tentang Hak-hak Politik dan Hak-hak Sipil
• Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
• Konvensi ILO tentang Usia Minimum (no. 138).
• Konvensi ILO tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (no. 182);
• Konvensi Den Haag mengenai Perlindungan Anak dan Kerjasama tentang Adopsi Antar Negara
• Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Anak, Khususnya Wanitadan Anak-anak.
B. PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Anak
terus saja menjadi korban utama konflik bersenjata. Penderitaan mereka
sangat beragam bentuknya. Anak dibunuh, kehilangan orangtua karena
mereka tewas, dibuat cacat, diculik, kehilangan hak atas pendidikan dan
kesehatan, dan menderita luka dan trauma batin dan emosi yang mendalam.
Anak-anak yang dipaksa untuk meninggalkan rumahnya, mengungsi, dan
terusir dari tempat tinggalnya sendiri, sangatkah rentan khususnya
terhadap kekerasan, pengerahan, eksploitasi seksual, penyakit, kurang
gizi, dan kematian. Anak dikerahkan dan digunakan sebagai tentara
anak-anak dalam skala yang sangat besar. Status gadis/anak perempuan
memberikan resiko tambahan, khususnya terhadap kekerasan seksual.
Pelanggaran terhadap hak-hak anak yang menyolok terjadi suasana
impunitas yang begitu meruyak.
Konvensi Hak-hak Anak
Konvensi itu mengandung standar-standar mengenai partisi pasi anak-anak dalam konflik bersenjata dan rekrutmen anak:
•
Negara-negara anggota tidak boleh merekrut siapapun yang berusia di
bawah 15 tahun dalam bagian apapun di dalam angkatan bersenjata.
•
Sebuah negara yang merekrut orang-or ang yang berusia antara 15
dan 18 tahun harus memulai perekrutannya dari mereka yang berusia
mendekati 18 tahun.
•
Semua negara harus mengambil langlah-langkah yang memadai untuk
mencegah partisipasi langsung siapapun yang berusia dibawah 15
tahun dalam pertikaian, apakah di pihak pemerintah atau di pihak
kelompok bersenjata lainnya.
Protokol Pilihan Konvensi Hak Hak Anak
Untuk
memperkuat ketentuan ini, sebuah Protokol Pilihan bagi Konvensi
mengenai pengunaan anak-anak dalam kon k bersenjata disahkan pada
tahun 2000 dalam upaya untuk memungkinkan negara-negara anggota
membuka komitmen yang lebih besar terhadap perlindungan anak dari
keikutsertaan mereka dalam kon ik bersenjata dan perekrutan ke
dalam angkatan bersenjata.
Protokol tersebut mulai berlaku pada tahun 2002, dan sebagian menentukan bahwa:
• Rekrutmen mereka yang berusia dibawah 18 tahun harus benar-benar bersifat suka rela.
•
Kelompok-kelompok bersenjata non-pemerintah sama sekali tidak
boleh merekrut mereka yang berusia di bawah 18 tahun atau menggunakan
mereka dalam pertikaian.
•
Negara-negara anggota harus memberikan kepada anak-anak yang sudah
ikut serta dalam konflik bersenjata, dalam pelanggaran konvensi
atau Protokol, rehabilitasi psikologis dan pengembalian mereka
kepada masyarakat.
Dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dewan Keamanan dan Sekertaris
Jenderal telah menempatkan masalah perlindungan anak dalam keadaan kon
ik bersenjata secara tegas dalam agenda keamanan dan perdamaian.
Resolusi Dewan Keamanan no. 1261 (1999) dan no. 1314 2000) membuat
rekmendasi bahwa, bila dipandang perlu, seorang penasehat perlindungan
anak (Child Protection Adviser - CPA) dipekerjakan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebagai bagian dari operasi penjagaan perdamaian. CPA
ini membantu Perwakilan Khusus Sekertaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa (sebagai pimpinan operasi penjagaan perdamaian atau
operasi untuk mendukung upaya perdamaian) untuk menjamin hak-hak,
perlindungan, dan kesejahteraan anak menjadi prioritas selama proses
penjagaan perdamaian berjalan.
Penasehat
perlindungan anak pertama kali diterjunkan di Republik Demokrasi Kongo
pada tahun 1999, kemudian di Sierra Leone pada tahun 2000.
Semenjak itu, Unit-unit Perlindungan Anak telah disertakan dalam Misi
Perserikatan Bangsa-Bangsa di Republik Demokrasi Kongo (MONUC) dan Misi
Perserikatan Bangsa-Bangsa di Sierra Leone (UNAMSIL). CPA lainnya
diterjunkan dan disetujui untuk Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di
Angola (UNMA), dan Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Pantai Gading
(MINUCI) dan Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Liberia (UNMIL).
Konvensi Hak-hak Anak
Pasal
38 Konvensi tersebut menyatakan bahwa: Negara-negara anggota berupaya
menghormati dan menjamin pernghormatan terhadap aturan-aturan
hukum humaniter internasional yang berlaku bagi mereka dalam konflik
bersenjata yang relevan dengan perlindungan anak. Pasal itu
menambahkan bahwa “(sesuai dengan kewajiban mereka dalam hukum
humaniter internasioal untuk melindungi warga sipil dalam konfliik
bersenjata, negara-negara anggota harus mengambil langkah-langkah yang
dipandang perlu untuk menjamin perlindungan dan perawatan anak yang
menjadi korban konflik bersenjata.”
Hukum Humaniter Internasional
Konvensi
Jenewa IV tahun 1949 dan protokol yang disetujui pada tahun 1977
mengatur aturan- aturan perlindungan warga sipil, t ermasuk beberapa
yang secara spesifik memberi perhatian pada perli ndungan anak.
Pasal 3 sebagian menetapkan bahwa non-pasukan, termasuk warga
sipil,
“dalam
keadaan apapun harus diperlakukan secara berperikemanusiaan
tanpa ada perbedaan yang merugikan berdasar kan pada ras, warna
kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kelahiran, kekayaan, atau
kriteria sejenisnya.”
“Secara
khusus, semua bentuk kekerasan terhadap kehidupan dan pribadi,
termasuk pembunuhan, mutilasi , perlakuan kejam dan penyiksaan,
penyanderaan, dan kesewenang-wenangan terhadap mar tabat pribadi”
Termasuk
kekerasan seksual, dan pelacuran paksa, sangat dilarang. Semua
negara memiliki kewajibanuntuk menjamin bahwa undang-undang pidana
negara tersebut menghukum tindakan-tindakan yang dilarang dalam Pasal
Umum 3.
Pasal
17 Konvensi IV Jenewa mempersyaratkan bahwa ketika sebuah wilayah
dikepung, penguasa setempat harus mengupayakan perundingan untuk
mengeluarkan anak-anak serta mereka yang terluka, sakit, berusia
lanjut dan sakit-sakitan. Pasal 23 Konvensi IV Jenewa
mempersyaratkan bahwa semua Negara harus mengijinkan masuknya
perlengkapan medis yang ditujukan bagi warga sipil, dan makanan
serta pakaian bagi anak-anak.
Secara
umum, anak-anak berhak atas penghormatan dan perlindungan khusus dari
segala bentuk penyerangan yang brutal. Protokol Tambahan II dalam pasal 4
(3) menjelaskan hak-hak anak atas perawatan dan bantuan yang mereka
perlukan, apakah karena usianya atau karena alasan lain.
Anak
yatim (piatu) dan anak yang terpisah dari orangtuanya harus
disediakan perawatan dan pendidikan. Pihak-pihak yang berkonflik
harus mengambil langkah-langkah untuk memfasilitasi penyatuan
kembali keluarga yang terpisahkan oleh konflik dan, pada khususnya,
untuk menjaga identitas anak.
Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan
Pengungsi
(UNHCR) telah mengadopsi paduan rinci mengenai perlakuan pengungsi
anak–anak dan pencari suaka anak-anak, dan menawarkan bantuan
teknis dan materi dalam berurusan dengan masalah tersebut. Beberapa
dari hak yang paling dasar dari pencari suaka dan pengungsi anak-anak
adalah:
•
Hak pencari suaka anak-anak untuk hearing dengan mempertimbangkan usia
dan keadaannya dan hak atas bantuan khusus untuk mengajukan
permohonannya.
•
Hak untuk tidak ditahan sementara permohonannya sedang
dipertimbangkan, kecuali bila penahanan dipandang sangat perlu, dan
dalam hal apapun, hak untuk tidak ditahan dalam jangka waktu yang
lama
•
Hak anak-anak yang tidak terdampingi untuk dilindungi
identitasnya dan untuk disatukan kembali dengan keluarganya, bila
memungkinkan.
•
Hak untuk dilindungi dari kekerasan fi sik, kekerasan seksual
dan eksploitasi seksual, khususnya ketika tinggal di kamp pengungsi
yang besar.
Hak-hak Anak di wilayah Pendudukan
Konvensi
Jenewa IV memuat ketentuan-ketentuan rinci mengenai hak-hak
warga negara di wilayah pendudukan. Berikut adalah hak-hak yang paling
relevan bagi anak-anak:
• Pemindahan massal warga sipil secara paksa dilarang
•
Pasukan pendudukan harus mengambil langkah-langkah untuk
mempertahankan/menjaga identitas dan hubungan keluarga anak-anak dan
“memfasilitasi beroperasinya semua lembaga yang mengabdikan dirinya di
bidang pendidikan dan perawatan anak” dengan bekerjasama dengan
penguasa nasional dan penguasa setempat.
•
Anak yang menjadi yatim (piatu) dan anak yang terpisah dari orangtuanya
hendaknya dirawat oleh saudara dekat atau sahabat, kapanpun
memungkinkan.
•
Anak tidak boleh dilibatkan dalam pembentukan organisasi-organisasi
yang berada di bawah penguasa pendudukan, dan tidak diwajibkan untuk
melakukan kerja dalam bentuk apapun.
•
Anak-anak, ibu-ibu yang mau melahirkan, kasus-kasus maternitas, dan
ibu-ibu yang menyusui harus diberi prioritas dalam pendistribusian
bantuan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perang
atau konflik bersejata bukannlah tempat untuk anak-anak. Karena pada
saat terjadinya perang anak-anak yang tidak bersalah yang seringkali
menjadi korban kekerasan, ancaman, pembunuhan, hukuman penjara dan
penyiksaan. Perang merusak dan menghilangkan hak-hak yang seharusnya
didapatkan oleh anak-anak yaitu, hak untuk hidup, hak untuk bersama
keluarga dan masyarakat, hak untuk memperoleh kesehatanyang layak, hak
untuk mengembangkan kepribadian, dan hak untuk dijaga dan dilindungi.
Dalam
kaitanya dengan hak hidup, Konvensi PBB tentang anak (KHA) maupun oleh
hukum Humaniter Internasional merupakan hak asasi yang universal, dan
dikenali sebagai hak yang utama
Senada
dengan itu, dalam hukum humaniter internasional dikenal pula beberapa
hak yang tidak boleh dicabut dalam keadaan apapun, yakni hak hidup dan
hak atas integritas fisik serta moral. Hak-hak tersebut harus dilindungi
dalam segala keadaan.
Melindungi
anak-anak dari kekerasan, agresi dan bombardir produk permusuhan orang
dewasa di sekitar anak, adalah tanggungjawab dan kewajiban kemanusiaan.
Meraka bukan peserta perang dan bukan bagian dari permusuhan. Jaminlah
mereka sebagai zona netral dan kawasan damai. Anak-anak adalah
putra-putri kehidupan yang menentramkan.
Perlindungan
anak harusmendapat perhatian khusus dalam suatu krisis
kemanusiaan dan keadaan darurat. Beberapa keadaan darurat tertentu
– terusir dari daerah tempat tinggalnya, kurangnya akses
kemanusiaan, rusaknya struktur sosial dan keluarga, erosi
sistem-sistem nilai tradisional, budaya kekerasan, pemerintahan yang
lemah, tiadanya akuntabilitas dan buruknya akses terhadap pelayanan
sosial dasar – telah menciptakan masalah-masalah perlindungan
anak yang cukup serius. Keadaan darurat bisa mengakibatkan
sejumlah besar anak-anak menjadi yatim (piatu), terusir dari tempat
tinggal atau terpisah dari keluarganya. Anak-anak mungkin menjadi
pengungsi atau terusir di negaranya sendiri, atau terpisah dari
keluarganya; diculik atau dipaksa bekerja untuk kelompok-kelompok
bersenjata; menjadi cacat akibat bertempur, ranjau darat, atau
senjata-senjata yang tidak meledak; dieksploitasi secara seksual selama
dan setelah kon ik; atau diperdagangkan untuk tujuan-tujuan militer.
Mereka mungkin menjadi tentara, atau menjadi saksi dalam kejahatan
perang atau dihadapkan pada mekanisme peradilan. Kon ik bersenjata
dan masa-masa represi meningkatkan resiko bahwa anak akan disiksa.
Demi uang dan perlindungan, anak-anak mungkin akan berpaling ke “seks
untuk bertahan hidup’, yang biasanya tidak terlindungi dan beresiko
tinggi untuk terjangkit penyakit, termasuk HIV/AIDS.
Kegagalan
melindungi anak-anak mengancam pembangunan nasional dan memiliki
pengaruh negatif dan akibat harus dibayar, yang akan terus terbawa
sampai anak-anak tersebut menjadi individu yang dewasa nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Arlina Permanasari dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, 1999.
Prof. KGPH. Haryomatram, S.H., Kushartoyo BS.,S.H.,M.H., (ed.), Pengantar Hukum Humaniter, Rajawali Pers, Jakarta, 2005.
Wahyu Wagiman, S.H., Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Seri Bahan bacaan Khusus HAM untuk Pengacara X, Jakarta, 2005.
UNICEF dan Inter-Parliamentary Union
International Review of The Red Cross, Volume 87 Nomor 857 Maret 2005
www.unicef.org
www.ipu.org
search engine :
www.google.com
0 komentar: