Mawlana Shaykh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani
Perjalanan Spiritual Mawlana Shaykh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani
Dari buku : The Naqshbandi Sufi Way, History
Oleh : Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, 1995
Beliau
dilahirkan di Larnaca, Siprus, pada hari Minggu, tanggal 23 April 1922 –
atau 26 Shaban 1340 H. Dari sisi ayah, beliau adalah keturunan
Syeikh Abdul Qadir Jailani, pendiri
Thariqat Qadiriah. Dari sisi ibunya, beliau adalah keturunan
Maulana Jalaluddin Rumi, pendiri
Thariqat Mawlawiyyah,
yang juga merupakan keturunan Hassan-Hussein (as) cucu Nabi Muhammad
saw. Selama masa kanak-kanak di Siprus, beliau selalu duduk bersama
kakeknya, salah seorang syaikh Thariqat Qadiriah untuk belajar
spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda luar biasa telah nampak pada
Syaikh Nazim kecil, tingkah lakunya sempurna. Tidak pernah berselisih
dengan siapapun, beliau selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari
pihak ayah dan ibunya melatih beliau pada jalan spiritual.
Ketika remaja, Shaykh Nazim sangat diperhitungkan karena tingkat
spiritualnya yang tinggi. Setiap orang di Larnaca mengenal beliau,
karena dengan umur yang masih amat muda mampu menasihati orang-orang,
meramal masa depan dan dengan spontan membukanya. Sejak umur 5 tahun
sering ibundanya mencarinya, dan didapati beliau sedang berada didalam
masjid atau di makam Umm Hiram, salah satu sahabat Nabi Muhammad (saw)
yang berada di sebelah masjid. Banyak sekali turis mendatangi makam
tersebut karena tertarik akan pemandangan sebuah batu yang tergantung
diatas makam itu.
Ketika sang ibu mengajaknya pulang, beliau mengatakan :
”Biarkan aku disini dengan Umm Hiram, beliau adalah leluhur kita.”
Biasanya terlihat Syaikh Nazim sedang berbicara, mendengarkan dan
menjawab seperti berdialog dengannya. Bila ada yang mengusiknya, beliau
katakan :
“Biarkan aku berdialog dengan nenekku yang ada di makam ini.”
Ayahnya mengirim beliau ke sekolah umum pada siang hari dan sorenya
belajar ilmu-ilmu agama. Beliau seorang yang jenius diantara
teman-temannya. Setelah tamat sekolah (setara SMU) Syaikh Nazim
menghabiskan malam harinya untuk mempelajari Thariqat Mawlawiyyah dan
Qadiriah. Beliau mempelajari ilmu Shariah, Fiqih, ilmu tradisi, ilmu
logika dan Tafsir Qur’an. Beliau mampu memberikan penjelasan hukum
tentang masalah-masalah Islam secara luas. Beliau juga mampu berbicara
bagi orang-orang dari segala tingkatan spiritual. Beliau di beri
kemampuan untuk menjelaskan masalah-masalah yang sulit dalam bahasa yang
jelas dan mudah.
Setelah tamat SMA di Siprus, Syaikh Nazim pindah ke Istambul pada tahun
1359 H / 1940, dimana kedua saudara laki-laki dan seorang saudara
perempuannya tinggal. Beliau belajar tehnik kimia di Universitas
Istambul, di daerah Bayazid. Pada saat yang sama beliau memperdalam
hukum Islam dan bahasa Arab pada guru beliau, Syaikh Jamaluddin
al-Lasuni, yang meninggal pada tahun 1375 H / 1955 M. Shaykh Nazim
meraih gelar sarjana pada tehnik kimia dengan hasil memuaskan dibanding
teman-temannya. Ketika Professor di Universitasnya memberi saran agar
melakukan penelitian, beliau katakan, ”Saya tidak tertarik dengan ilmu modern. Hati saya selalu tertarik pada ilmu-ilmu spiritual.”
Selama tahun pertama di Istambul, beliau bertemu dengan guru spiritual
pertamanya, Shaykh Sulayman Arzurumi, seorang syaikh dari Thariqat
Naqsybandi yang meninggal pada tahun 1368 H / 1948 M. Sambil kuliah
Syaikh Nazim belajar pada beliau sebagai tambahan dari ilmu thariqat
yang telah dimilikinya yaitu Mawlawiyyah dan Qadiriah. Biasanya beliau
akan terlihat di masjid Sultan Ahmad, bertafakur sepanjang malam. Syaikh
Nazim menuturkan :
"Disana aku menerima barakah dan kedamaian hati yang luar biasa. Aku
shalat subuh bersama kedua guruku, Shaykh Sulayman Arzurumi dan shaykh
Jamaluddin al-Lasuni. Mereka mengajariku dan meletakkan ilmu spiritual
dalam hatiku. Aku mendapat banyak penglihatan spiritual agar pergi
menuju Damaskus, tapi hal itu belum diizinkan. Sering aku melihat Nabi
Muhammad memanggilku menuju ke hadapannya. Ada hasrat yang mendalam agar
aku meninggalkan segalanya dan untuk pindah menuju kota suci Nabi".
Suatu hari ketika hasrat hati ini semakin kuat, aku diberi “penglihatan”
itu. Guruku, Shaykh Sulayman Arzurumi datang dan menepuk pundakku
sambil mengatakan, ’Sekarang sudah turun izin. Rahasia-rahasia, amanat,
dan ajaran spiritualmu bukan ada padaku. Aku menahanmu karena amanat
sampai engkau siap bertemu dengan guru sejatimu yang juga guruku sendiri
yaitu Syaikh Abdullah ad-Daghestani. Beliau pemegang kunci-kuncimu.
Temui beliau di Damaskus. Izin ini datang dariku dan berasal dari Nabi.’
(Shaykh Sulayman Arzurumi adalah salah satu dari 313 awliya Thariqat
Naqsybandi yang mewakili 313 utusan.)
Bayangan itu pun berakhir. Aku mencari guruku untuk menceritakan
pengalaman itu. Dua jam kemudian aku melihat syaikh menuju masjid, aku
berlari menghampirinya. Beliau membuka kedua tangannya dan berkata,
”Anakku, bahagiakah engkau dengan penglihatan itu?” Aku sadar bahwa
beliau juga telah mengetahui segalanya. “Jangan tunggu lagi, segera
berangkat ke Damaskus.” Beliau bahkan tidak memberiku alamat atau
informasi lain, kecuali sebuah nama: Syaikh Abdullah ad-Daghestani di
Damaskus.
Dari Istambul ke Aleppo aku naik kereta. Selama perjalanan aku masuk
dari satu masjid ke masjid lain, shalat, duduk dengan para ulama dan
menghabiskan waktu untuk ibadah dan tafakur.
Kemudian aku menuju Hama, kota kuno mirip Aleppo. Aku berusaha untuk
langsung menuju Damaskus, namun mustahil. Perancis yang saat itu
menduduki Damaskus sedang mempersiapkan diri akan serangan pihak
Inggris. Jadi aku pergi ke Homs dimana ada makam Khalid bin Walid,
sahabat Nabi. Ketika aku memasuki masjid untuk shalat, seorang pelayan
mendatangiku dan mengatakan :
‘Aku bermimpi tadi malam, Nabi mendatangiku. Beliau mengatakan : “Salah
satu cucuku akan datang esok hari. Jagalah dia demi aku.” Beliau memberi
petunjuk bagaimana ciri-ciri cucu beliau yang sekarang aku lihat
semuanya ada pada dirimu.’
Dia memberiku sebuah kamar didalam masjid itu dimana aku menetap selama
setahun. Aku tidak pernah keluar kecuali untuk shalat dan duduk ditemani
2 ulama Homs yang mumpuni, mereka mengajar bacaan Al-Qur’an, tafsir,
fiqih dan tradisi-tradisi Islam. Mereka adalah Shaykh Muhammad Ali Uyun
as-Sud dan Shaykh Abdul Aziz Uyun as-Sud. Disana, aku juga mengikuti
pelajaran-pelajaran dari dua syaikh Naqsybandi, Shaykh Abdul Jalil Murad
dan Shaykh Said as-Suba’i. Hatiku semakin menggebu untuk segera tiba di
Damaskus, namun karena perang masih berkecamuk maka kuputuskan untuk
menuju Tripoli di Lebanon, dari sana menuju Beirut lalu ke Damaskus
lewat jalur yang lebih aman.
Pada tahun 1364 H / 1944 M, Syaikh Nazim pergi ke Tripoli dengan bis.
Bis ini membawa beliau sampai ke pelabuhan yang masih asing, dan tidak
seorang pun dikenalnya. Ketika berjalan mengelilingi pelabuhan, beliau
melihat seseorang dari arah berlawanan. Orang itu adalah Mufti Tripoli
yang bernama Shaykh Munir al-Malek. Beliau juga merupakan shaykh atas
semua thariqat sufi di kota itu.
“Apakah kamu Shaykh Nazim? aku bermimpi dimana Nabi mengatakan, ‘Salah
satu cucuku tiba di Tripoli.’ Beliau tunjukkan gambaran sosokmu dan
menyuruhku mencarimu di kawasan ini. Nabi menyuruhku agar menjagamu.“
Syaikh Nazim memaparkan hal ini :
Aku tinggal dengan Syaikh Munir al-Malek selama sebulan. Beliau mengatur
perjalananku menuju Homs untuk kemudian dilanjutkan ke Damaskus. Aku
tiba di Damaskus pada hari Jum’at tahun 1365 H / 1945 awal tahun
Hijriah. Aku tahu bahwa Syaikh Abdullah ad-Daghestani tinggal di wilayah
Hayy al-Maidan, dekat dengan makam Bilal al-Habashi dan banyak
keturunan dari keluarga Nabi. Sebuah daerah kuno yang penuh dengan
monumen-monumen bersejarah.
Akupun tidak tahu yang mana rumah Syaikh Abdullah. Sebuah penglihatan
datang ketika aku berdiri di pinggir jalan; Syaikh keluar dari rumahnya
dan memanggilku untuk masuk. Penglihatan itu segera lenyap, dan tetap
tak kulihat siapa pun di jalanan. Keadaan tampak senyap akibat invasi
orang-orang Perancis dan Inggris. Penduduk ketakutan dan bersembunyi
didalam rumah masing-masing. Aku sendirian dan mulai berkontemplasi
didalam hati untuk mengetahui yang mana rumah Syaikh Abdullah. Sekilas
gambaran itu muncul, sebuah rumah dengan sebuah pintu yang spesifik. Aku
berusaha mencari sampai akhirnya ketemu. Ketika akan kuketuk, syaikh
membuka pintu rumah menyambutku, ”Selamat datang anakku, Nazim Effendi.”
Penampilannya yang tidak biasa segera menarik hatiku. Tidak pernah aku
bertemu dengan syaikh yang seperti itu sebelumnya. Cahaya terpancar dari
wajah dan keningnya. Kehangatan yang berasal dari dalam hatinya dan
dari senyuman di wajahnya. Beliau mengajakku ke lantai atas dengan
menaiki tangga didalam kamar beliau, “Kami sudah menunggumu.”
Didalam hati, aku sangat bahagia bersamanya, namun masih ada hasrat
untuk mengunjungi kota Nabi. Aku bertanya pada beliau, ”Apa yang harus
kulakukan?” Beliau menjawab, ”Besok akan aku beri jawaban, sekarang
waktumu untuk istirahat!” Beliau menawari makan malam lalu kami shalat
Isya berjamaah, kemudian tidur.
Pagi-pagi sekali beliau membangunkan aku untuk melakukan shalat. Tidak
pernah aku merasakan kekuatan luar biasa seperti cara beliau beribadah.
Aku merasa sedang berada dihadapan Ilahi dan hatiku semakin tertarik
akan beliau. Kembali sebuah ‘penglihatan’ terlintas. Aku melihat diriku
sendiri menaiki sebuah tangga dari tempat kami shalat menuju ke Bayt
al-Makmur, Ka’bah Surgawi, setingkat demi setingkat. Setiap tingkat yang
kulalui adalah maqam yang diberikan syaikh kepadaku. Di setiap maqam
aku menerima pengetahuan didalam hatiku yang sebelumnya tidak pernah aku
dengar atau pun aku pelajari. Kata-kata, frase, kalimat diletakkan
sekaligus dalam cara yang indah, di alirkan menuju ke dalam hatiku, dari
maqam ke maqam sampai terangkat menuju Bayt al-Makmur. Disana aku
melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) Nabi-nabi berbaris
melakukan shalat, dan Nabi Muhammad sebagai imamnya.
Aku melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) sahabat Nabi yang
berbaris dibelakang beliau. Aku melihat 7007 (tujuh ribu tujuh) awliya
thariqat Naqsybandi berdiri dibelakang mereka sedang shalat. Aku juga
melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) awliya thariqat lain
berbaris melaksanakan shalat.
Sebuah tempat sengaja disisakan untuk dua orang tepat disebelah Abu Bakr
as-Siddiq. Grandsyaikh mengajakku menuju tempat itu dan kami pun shalat
subuh. Suatu pengalaman beribadah yang sangat indah. Ketika Nabi
memimpin shalat itu, bacaan yang dikumandangkan beliau sungguh syahdu.
Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan pengalaman itu, sesuatu yang
Ilahiah.
Begitu shalat selesai, penglihatan itupun berakhir, tepat ketika syaikh
menyuruhku untuk melakukan adhan subuh. Beliau shalat didepan dan aku
dibelakangnya. Dari arah luar aku mendengar suara peperangan antar 2
pihak pasukan tentara. Grandsyaikh segera mem-baiat-ku didalam thariqat
Naqsybandi, kata beliau : ‘Anakku, kami punya kekuatan untuk bisa
membuat seorang murid mencapai maqamnya dalam waktu sedetik saja.’
Sambil melihat ke arah hatiku, kedua mata beliau berubah dari kuning
menjadi merah, lalu berubah putih, kemudian hijau dan akhirnya hitam.
Perubahan warna itu berhubungan dengan ilmu-ilmu yang di pancarkan pada
hatiku.
Pertama adalah warna kuning yang menunjukkan maqam ‘qalbu’. Beliau
alirkan segala jenis pengetahuan eksternal yang diperlukan untuk
melaksanakan kehidupan manusia sehari-hari.
Yang kedua adalah maqam ‘rahasia/Sirr’, pengetahuan dari seluruh 40
thariqat yang berasal dari Ali bin Abi Thalib. Aku rasakan diriku
menjadi pakar dalam seluruh thariqat-thariqat ini. Mata beliau berubah
warna menjadi merah saat hal ini terjadi. Tahap yang ketiga adalah
tingkatan ‘Sirr as Sirr’ yang hanya diizinkan bagi para syaikh
Naqsybandi dengan imamnya Abu Bakr. Saat itu mata grandsyaikh telah
berubah menjadi putih.
Maqam keempat yaitu ‘pengetahuan spiritual tersembunyi / khafa’ dimana
saat itu mata beliau berubah warna menjadi hijau. Terakhir adalah tahap
akhfa, maqam yang paling rahasia dimana tak ada apapun yang nampak
disana. Mata beliau berubah menjadi hitam, dan disinilah beliau
mengantarku menuju Hadirat Allah. Kemudian Grandsyaikh mengembalikan aku
lagi pada eksistensiku semula.
Rasa cintaku pada Grandsyaikh begitu meluap, sehingga tidak terbayangkan
bila harus berjauhan dengannya. Aku tak menginginkan apapun kecuali
agar bisa berdekatan dan melayani beliau selamanya. Namun perasaan damai
itu terasa disambar oleh petir, badai dan tornado. Ujian yang sungguh
luar biasa dan membuatku putus asa ketika kemudian beliau mengatakan :
‘Anakku, orang-orangmu membutuhkanmu. Aku telah cukup memberimu untuk saat ini. Pergilah ke Siprus hari ini juga.’
Aku jalani satu setengah tahun agar bisa bertemu dengan beliau. Aku
lewatkan satu malam bersama beliau. Kini beliau memintaku untuk kembali
ke Siprus, sebuah tempat yang telah kutinggalkan selama 5 tahun.
Perintah yang amat mengerikan bagiku, namun dalam thariqat sufi, seorang
murid harus menyerah pada kehendak syaikh-nya. Setelah mencium tangan
dan kaki beliau sambil meminta izin, aku mencoba menemukan jalan menuju
Siprus.
Perang Dunia II akan segera berakhir dan sama sekali tidak ada sarana
transportasi. Ketika aku sedang memikirkan jalan keluarnya, seseorang
menghampiriku, ‘Syaikh, anda butuh tumpangan?’
‘Ya ! kemana tujuan anda?’ aku balik bertanya.
‘Ke Tripoli.’ jawabnya. Kemudian dengan truknya, setelah 2 hari
perjalanan, kami pun sampai di Tripoli. ‘Antarkan aku sampai pelabuhan.’
kataku
‘Buat apa?’
‘Agar bisa naik kapal ke Siprus.’
‘Bagaimana bisa? tak ada yang bepergian lewat laut saat perang seperti ini.’
‘Tidak apa-apa. Antarkan aku kesana.’
Ketika dia menurunkanku di pelabuhan, aku kembali terkejut ketika Syaikh
Munir al-Malek menghampiriku. Kata beliau : ‘Cinta macam apakah yang
dimiliki kakekmu padamu? Nabi datang lagi lewat mimpiku dan mengatakan –
‘Cucuku, si Nazim akan segera tiba, jagalah dia.’
Aku tinggal bersama Syaikh Munir selama 3 hari. Aku memintanya untuk
mengatur perjalananku sampai ke Siprus. Beliau telah berusaha, namun
karena keadaan perang dan minimnya bahan bakar maka hal itu sangat
mustahil. Akhirnya hanya ada sebuah perahu. ‘Kamu bisa pergi, tapi amat
berbahaya!’ kata Syaikh Munir.
‘Tapi aku harus pergi, ini adalah perintah syaikh-ku.’
Syaikh Munir membayar sejumlah besar uang pada pemilik perahu untuk
membawaku. Kami berlayar selama 7 hari agar sampai ke Siprus, yang
normalnya hanya memakan waktu 2 hari saja dengan perahu motor. Segera
setelah sampai di daratan Siprus, penglihatan spiritual terlintas dalam
hatiku.
Aku merasa Grandsyaikh Abdullah ad-Daghestani mengatakan padaku, ‘Oh
anakku, tidak seorang pun mampu menahanmu membawa amanatku. Engkau telah
banyak mendengar dan menerima. Mulai detik ini aku akan selalu dapat
terlihat olehmu. Setiap engkau arahkan hatimu padaku, aku akan selalu
berada disana. Segala pertanyaan yang engkau ajukan akan dijawab
langsung, berasal dari hadirat Ilahi. Segala tingkatan spiritual yang
ingin engkau capai, akan dianugerahkan kepadamu karena penyerahan
totalmu. Semua awliya puas denganmu, Nabi pun bahagia akan dirimu.’
Ketika hal itu terjadi, aku merasakan syaikh ada disisiku dan sejak saat
itu beliau tidak pernah meninggalkanku. Beliau selalu berada di
sampingku.
Syaikh Nazim mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama
Islam di Siprus. Banyak murid-murid yang mendatangi beliau dan menerima
thariqat Naqsybandi. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di
Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di
Siprus, agama pun juga dilarang disana. Bahkan mengumandangkan adhan pun
tidak diperbolehkan.
Langkah beliau yang pertama adalah menuju masjid di tempat kelahirannya
dan mengumandangkan adhan disana, segera beliau dimasukkan penjara
selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh Nazim pergi menuju masjid
besar di Nicosia dan melakukan adhan di menaranya. Hal itu membuat para
pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran hukum. Sambil
menunggu sidang, Syaikh Nazim terus mengumandangkan adhan di
menara-menara masjid seluruh Nicosia. Sehingga tuntutan pun terus
bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau. Pengacara menasihati
beliau agar berhenti melakukan adhan, namun Syaikh Nazim mengatakan :
“Tidak, aku tidak bisa. Orang-orang harus mendengar panggilan untuk
shalat.”
Hari persidangan tiba. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, beliau bisa
dihukum 100 tahun penjara. Pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan
di Turki. Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk
berkuasa. Langkah pertama dia ketika terpilih menjadi Presiden adalah
membuka seluruh masjid-masjid dan mengijinkan adhan dalam bahasa Arab.
Itulah keajaiban syaikh kita.
Selama bertahun-tahun disana, beliau mengadakan perjalanan ke seluruh
penjuru Siprus. Beliau juga mengunjungi Lebanon, Mesir, Saudi Arabia dan
tempat-tempat lain untuk mengajar thariqat Sufi. Syaikh Nazim kembali
ke Damaskus pada tahun 1952 ketika beliau menikahi salah satu murid
Grandsyaikh Abdullah yaitu Hajjah Amina Adil. Sejak saat itu beliau
tinggal di Damaskus dan mengunjungi Siprus setiap tahunnya, yaitu selama
3 bulan pada bulan Rajab, Shaban, dan Ramadhan.
Syaikh Nazim dan keluarganya tinggal di Damaskus, dan keluarganya selalu
menyertai bila Syaikh Nazim pergi ke Siprus. Syaikh Nazim mempunyai dua
anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Perjalanan Syaikh Nazim
Syaikh Nazim pergi haji setiap tahunnya untuk memimpin kelompok
orang-orang Siprus. Beliau melaksanakan ibadah haji sebanyak 27 kali.
Beliau menjaga murid-muridnya dan sebagai pengikut Grandsyaikh Abdullah.
Suatu saat Grandsyaikh mengatakan padanya agar pergi ke Aleppo dari
Damaskus dengan berjalan kaki, dan berhenti di setiap desa untuk
menyebarkan thariqat Naqsybandi, ajaran sufisme dan ajaran Islam. Jarak
antara Damaskus menuju Aleppo sekitar 400 kilometer. Butuh waktu lebih
dari satu tahun untuk perjalanan pergi dan kembali. Syaikh Nazim
berjalan kaki selama satu atau dua hari. Ketika sampai di sebuah desa,
beliau tinggal disana selama seminggu untuk menyebarkan thariqat
Naqsybandi, memimpin dzikir, melatih penduduk dan melanjutkan perjalanan
beliau sampai ke desa selanjutnya. Nama beliau pun mulai terdengar di
setiap lidah orang-orang, mulai dari perbatasan Yordania sampai
perbatasan Turki dekat Aleppo.
Hal yang sama diperintahkan dan dijalankan oleh Syaikh Nazim agar
berjalan kaki ke Siprus. Dari desa satu menuju desa lainnya, menyeru
orang agar kembali pada Tuhannya dan meninggalkan segala materialisme,
sekularisme dan atheisme.
Beliau amat dicintai diseluruh Siprus, dan masyur dengan sebutan ‘Syaikh Nazim berturban hijau / Syaikh Nazim Yesilbas’ karena turban dan jubahnya yang berwarna hijau.
Beliau sering mengunjungi Lebanon, dimana kami mengenal beliau. Pada
tahun 1955, aku berada di kantor pamanku, yang menjabat sebagai sekjen
urusan agama di Lebanon, sebuah jabatan yang tinggi dalam Pemerintahan.
Ketika itu tiba waktunya shalat Ashar dan pamanku, Syaikh Mukhtar Alayli
sering shalat di masjid al-Umari al-Kabir di Beirut. Disana ada juga
gereja pada masa Umar bin al-Khattab, yang telah berubah menjadi masjid
pada masa beliau. Di bawah tanah masjid masih terdapat fondasi gereja.
Pamanku menjadi imam dan aku beserta dua saudaraku shalat dibelakang
beliau.
Seorang syaikh datang dan shalat disebelah kami. Kemudian orang itu
melihat kedua kakakku dan menyebut nama-nama mereka, selanjutnya menoleh
ke arahku dan menyebutkan namaku. Kami amat terkejut, karena kami tidak
saling mengenal sebelumnya. Pamanku juga tertarik pada beliau. Itulah
pertama kali kami bertemu Syaikh Nazim. Kakak tertuaku berkeras untuk
mengajak Syaikh Nazim dan paman untuk menginap di rumah kami.
Syaikh Nazim mengatakan : “Saya dikirim oleh Syaikh Abdullah. Beliau
yang mengatakan ‘Setelah shalat ashar nanti, yang ada disebelah kananmu
bernama ini dan yang lain bernama ini. Ajaklah mereka masuk thariqat
Naqsybandi. Mereka akan menjadi pengikut kita.’ “
Kami masih amat muda dan kagum akan cara beliau mengetahui nama-nama kami.
Sejak saat itu beliau mengunjungi Beirut secara rutin. Kami pergi ke
Damaskus setiap Minggunya, dengan cara memohon pada ayah kami agar
diizinkan mengunjungi Grandsyaikh. Aku dan kakakku menerima banyak
pengetahuan spiritual dan menyaksikan kekuatan-kekuatan ajaib yang
dialirkan pada hati kami, para pencari.
Rumah Syaikh Nazim tidak pernah sepi dari pengunjung. Sedikitnya seratus
orang silih berganti mengunjungi rumah beliau setiap harinya dan
dilayani dengan baik. Rumah beliau dekat dengan rumah Grandsyaikh di
Jabal Qasiyun, sebuah pegunungan yang tampak dari kotanya, disebelah
tenggara Damaskus. Rumah semen beliau yang sederhana dengan segala
perabot dibuat dari tangan dengan bahan kayu atau bahan-bahan alami
lain.
Mulai tahun 1974, beliau mengunjungi Eropa. Dari Siprus menuju London
dengan pesawat dan kembalinya mengendarai mobil lewat jalan darat.
Beliau melanjutkan pertemuan dengan setiap kalangan masyarakat dari
berbagai daerah, bahasa, adat sampai keyakinan yang berbeda-beda.
Orang-orang mulai mengucap kalimat Tauhid dan bergabung dengan thariqat
sufi dan belajar tentang rahasia-rahasia spiritual dari beliau. Senyum
dan wajahnya yang bersinar amat dikenal di seluruh benua Eropa dan
disayangi karena membawa cita rasa spiritualitas yang sebenarnya dalam
kehidupan masyarakat.
Tahun-tahun selanjutnya, beliau melakukan perjalanan kaki di wilayah
negara Turki. Sejak tahun 1978, beliau habiskan tiga sampai empat bulan
disetiap daerah di Turki. Dalam setahun beliau bepergian di daerah
Istambul, Yalova, Bursa, Eskisehir dan Ankara. Di lain kesempatan beliau
mengunjungi Konya, Isparta dan Kirsehir. Tahun berikutnya mengunjungi
pesisir selatan dari Adana menuju Mersin, Alanya, Izmir dan Antalya.
Kemudian ditahun berikutnya beliau bepergian ke sisi timur, Diyarbakir,
Erzurm sampai perbatasan Irak. Kemudian kunjungan selanjutnya adalah di
laut hitam, bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari kota
menuju kota lain, dari masjid ke masjid men-syiarkan firman-firman Allah
dan spiritualitas dimana pun beliau berada.
Dimanapun Syaikh Nazim pergi, beliau disambut oleh kerumunan massa dari
yang sederhana sampai pejabat pemerintahan. Beliau masyur dengan sebutan
‘Al-Qubrusi’ di seluruh Turki. Syaikh Nazim merupakan syaikh / guru
dari Presiden Turki terakhir, Turgut Ozal yang amat menghormati beliau.
Akhir-akhir ini syaikh Nazim terkenal karena pemberitaan yang luas dari
media dan pers. Beliau di wawancarai hampir tiap minggu oleh berbagai
stasiun TV dan reporter yang menanyakan tentang berbagai kejadian serta
masa depan Turki. Beliau mampu menjembatani antara pemerintahan yang
sekuler dan kelompok Islam fundamental, seperti yang diajarkan oleh Nabi
(saw) sehingga tercipta kedamaian disetiap hati dan pikiran dari kedua
belah pihak, baik kalangan awam maupun yang cerdas sekali pun.
Tahun 1986, beliau terpanggil untuk mengadakan perjalanan menuju Timur
jauh; Brunei, Malaysia, Singapore, India, Pakistan, Sri Lanka. Beliau di
terima baik oleh para Sultan, Presiden, anggota parlemen, pejabat
pemerintah dan tentu saja rakyat pada umumnya. Beliau di sebut sebagai
orang suci zaman ini di Brunei. Beliau disambut dengan kemurahan rakyat
dan khususnya oleh Sultan Hajji Hasan al-Bolkiah. Beliau digolongkan
sebagai salah satu syaikh terbesar thariqat Naqsybandi di Malaysia. Di
Pakistan, beliau dikenal sebagai penyegar akan thariqat sufi dan beliau
mempunyai ribuan murid. Di Srilanka, di antara pemerintahan dan rakyat
biasa, beliau mempunyai lebih dari 20.000 (dua puluh ribu) murid. Di
antara muslim Singapore, beliau juga amat dihormati.
Pada tahun 1991, untuk pertama kalinya beliau mengunjungi Amerika. Lebih
dari 15 negara bagian beliau kunjungi. Beliau bertemu dengan banyak
kalangan masyarakat dari berbagai aliran dan agama-agama : Muslim,
Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu, New age, dan lain-lain. Hal ini
membuahkan berdirinya lebih dari 13 pusat-pusat thariqat Naqsybandi di
Amerika Utara. Kunjungan kedua tahun 1993, beliau mendatangi berbagai
daerah dan kota-kota, masjid-masjid, gereja, sinagog, dan candi-candi.
Melalui beliau, lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) rakyat Amerika Utara
telah masuk Islam dan ber-baiat dalam thariqat Naqsybandi.
Pada bulan Oktober 1993, beliau menghadiri peresmian kembali masjid dan
sekolah Imam Bukhari di Bukhara, Uzbekistan. Beliau adalah orang pertama
diantara banyak generasi Imam Bukhari yang mampu mengembalikan daerah
pusat para awliya di Asia tengah yang sangat kuat mengabadikan nama dan
ajarannya dalam thariqat ini.
Sebagaimana Shah Naqsyband sebagai pelopor di daerah Bukhara dan Asia
Tengah, juga Ahmad as-Sirhindi al-Mujaddidi pelopor di milenium ke 2,
dan Khalid al-Baghdadi pelopor kebangkitan Islam, shariah, dan thariqat
di Timur Tengah; maka Syaikh Nazim Adil al-Haqqani adalah pelopor,
pembaharu dan penyeru umat agar kembali pada Tuhan-nya di abad ini, abad
perkembangan tekhnologi dan materialisme.
Khalwat Syaikh Nazim
Khalwat pertama beliau atas perintah Syaikh Abdullah ad-Daghestani di
tahun 1955 di Sueileh, Yordania. Beliau berkhalwat selama 6 bulan.
Kekuatan dan kemurnian dalam setiap kehadiran beliau mampu menarik
ribuan murid di Sueileh dan desa-desa sekitarnya, Ramta dan Amman
menjadi penuh oleh murid-muridnya. Ulama, pejabat resmi dan banyak
kalangan tertarik akan pencerahan dan kepribadian beliau.
Ketika baru mempunyai 2 orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki,
Syaikh Nazim dipanggil oleh Grandsyaikh Abdullah. “Aku menerima perintah
dari Nabi untukmu agar melakukan khalwat di masjid Syeikh Abdul Qadir
Jailani di Baghdad. Pergilah kesana dan lakukan khalwat selama 6 bulan.”
Syaikh Nazim bercerita mengenai peristiwa ini :
Aku tidak bertanya apa pun pada Grandsyaikh. Aku bahkan tidak pulang ke
rumah. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju Marja, di dalam kotanya.
Tidak pernah terlintas dalam benakku ‘aku butuh pakaian, uang atau
makanan’. Ketika beliau berkata ‘Pergilah!’ maka aku segera pergi. Aku
memang ingin melakukan khalwat bersama Syaikh Abdul Qadir Jailani.
Ketika sampai di kota, aku melihat seorang laki-laki yang sedang menatapku. Dia mengenalku. “Syaikh Nazim, anda mau kemana?“
“Ke Baghdad.” jawabku. Ternyata dia murid Grandsyaikh. “Saya juga mau
kesana.” Kami pun berangkat dengan naik truk yang penuh dengan muatan
barang untuk dikirim ke Baghdad.
Ketika memasuki masjid Syaikh Abdul Qadir Jailani, ada seorang laki-laki
tinggi besar yang berdiri di pintu. Dia memanggilku, ”Syaikh Nazim!”
“Ya,” jawabku.
“Saya ditunjuk untuk melayani anda selama tinggal disini. Mari ikut saya.”
Sebenarnya aku terkejut akan hal ini, namun dalam thariqat segala hal
telah diatur dalam Kehendak Ilahi. Aku mengikutinya sampai ke makam sang
Ghawth. Aku mengucapkan salam pada kakek buyutku, Syaikh Abdul Qadir
Jailani.
Sambil menunjukkan kamarku, orang itu mengatakan, ‘‘Setiap hari aku akan memberimu semangkuk sup dan sepotong roti.’’
Aku keluar dari kamar hanya untuk menunaikan shalat 5 waktu saja. Aku
mencapai sebuah maqam dimana aku mampu khatam Al Qur’an dalam waktu 9
jam. Setiap harinya aku membaca La ilaha ill-Allah 124.000 kali dan
shalawat 124.000 kali ditambah membaca seluruh Dalail al-khayrat, dan
membaca 313.000 kali Allah, Allah, dan seluruh ibadah yang dibebankan
padaku. ‘Penglihatan-penglihatan spiritual’ mulai bermunculan
mengantarku dari satu maqam ke maqam lain sampai akhirnya aku menjadi
fana’ dalam hadirat Allah.
Suatu hari aku mendapat penglihatan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani
memanggilku menuju makamnya. Kata beliau, ‘Oh, cucuku, aku sedang
menunggumu di makamku, datanglah!” Aku bergegas mandi, shalat 2 rakaat
dan berjalan menuju makam beliau yang hanya beberapa langkah dari
kamarku. Sesampai disana, aku mulai bermuraqaba. “as-salam alayka ya
jaddi’ (semoga kedamaian tercurah padamu, kakekku)“ Segera aku melihat
beliau keluar dari makam dan berdiri disampingku. Dibelakang beliau ada
sebuah singgasana indah yang dihiasi batu-batu mulia. Kata beliau
“Mendekat dan duduklah bersamaku di singgasana itu.”
Kami duduk layaknya seorang kakek dan cucunya. Beliau tersenyum dan mengatakan :
“Aku bahagia denganmu, Nazim Effendi. Maqam syaikh kamu, Abdullah
al-Faiz ad-Daghestani amat tinggi dalam thariqat Naqsybandi. Aku ini
kakekmu. Sekarang aku turunkan padamu, langsung dariku, kekuatan yang
dipegang oleh Ghawth. Aku bay’at kamu dalam thariqat Qadiriah sekarang.”
Kemudian Grandsyaikh nampak dihadapanku, Nabi (saw ) pun hadir, juga
Shah Naqsyband. Syaikh Abdul Qadir Jailani berdiri memberi hormat pada
Nabi beserta para syaikh yang hadir, aku pun melakukannya. Kata beliau :
‘Ya Nabi, Ya Rasulullah, aku kakek dari cucuku ini. Aku bahagia dengan
kemajuannya dalam thariqat Naqsybandi dan aku ingin menambahkan thariqat
Naqsybandi pada maqamku.‘
Nabi tersenyum dan melihat pada Shah Naqsyband, selanjutnya Shah
Naqsyband melihat pada Grandsyaikh Abdullah. Inilah adab pimpinan yang
baik, karena Syaikh Abdullah yang masih hidup pada saat itu. Grandsyaikh
menerima rahasia thariqat Naqsybandi yang diterima beliau dari Shah
Naqsyband melalui silsilah Nabi, dari Abu Bakr as-Siddiq, agar
ditambahkan pada maqam Syaikh Abdul Qadir Jailani.
Ketika Syaikh Nazim merampungkan khalwatnya, dan akan segera
meninggalkan makam kakeknya dan mengucapkan salam perpisahan. Syaikh
Abdul Qadir Jailani muncul dan memperbarui bay’at Syaikh Nazim dalam
thariqat Qadiriah. Kata Kakeknya, “Cucuku, aku akan memberimu
kenang-kenangan karena telah berkunjung ke sini.” Beliau memeluk Syaikh
Nazim dan memberinya 10 buah koin yang merupakan mata uang di jaman
beliau dulu hidup. Koin itu masih disimpan syaikh Nazim sampai hari ini.
Sebelum pergi, Syaikh Nazim memberi tanda kenangan jubah pada syaikh
yang telah melayani beliau selama khalwat disana. “Aku memakai jubah ini
selama masa khalwat, sebagai alas tidurku, bahkan juga saat shalat dan
dzikir. Simpanlah, Allah beserta Nabi akan memberkahimu.” Syaikh itu
mengambil jubah, menciumnya dan memakainya. Syaikh Nazim meninggalkan
Baghdad dan kembali ke Damaskus, Syria.
Pada tahun 1992, ketika Syaikh Nazim mengunjungi Lahore, Pakistan,
beliau berziarah ke makam Syaikh Ali Hujwiri. Salah seorang syaikh dari
thariqat Qadiriah mengundang beliau ke rumahnya. Syaikh Nazim menginap
disana. Setelah shalat subuh, tuan rumah itu mengatakan:
‘Ya syaikh, aku memintamu menginap malam ini untuk menunjukkan padamu
sebuah jubah berharga yang kami warisi selama 27 tahun yang lalu.
Diwariskan dari seorang syaikh hebat dari thariqat Qadiriah dari Baqhdad
sampai akhirnya berada di tangan kami. Semua syaikh kami menyimpan dan
menjaganya karena dulunya ini jubah pribadi dari ‘Ghawth’ pada masa itu.
Seorang syaikh Turki dari thariqat Naqsybandi berkhalwat di masjid-makam
Syaikh Abdul Qadir Jailani. Setelah selesai, beliau berikan jubah ini
sebagai hadiah karena sudah melayaninya selama khalwat. Syaikh Qadiriah
pemegang jubah ini mengatakan pada penerusnya ketika akan meninggal agar
menjaganya, karena siapa pun yang mengenakan jubah itu, segala
penyakitnya akan sembuh. Setiap murid yang mengenakan jubah ini dalam
perjalanannya menuju hadirat Ilahi akan mudah terangkat dalam tingkat
kashf.’
Beliau membuka almari dan memperlihatkan sebuah jubah yang disimpan di
kotak kaca. Dia keluarkan jubah itu. Syaikh Nazim tersenyum melihatnya.
Syaikh Qadiriah itu bertanya pada Syaikh Nazim, ”Apakah sebenarnya ini,
syaikh?“ Syaikh Nazim menjawab: “Hal ini membuat aku bahagia. Jubah ini
aku berikan pada Syaikh thariqat Qadiriah saat aku selesai khalwat.”
Ketika mendengar hal ini syaikh tersebut mencium tangan Syaikh Nazim dan meminta bay’at di dalam thariqat Naqsybandi.
Khalwat di Madinah
Sering kali Syaikh Nazim diperintahkan melakukan khalwat dengan kurun
waktu antara 40 hari sampai setahun. Tingkatan khalwatnya juga berbeda,
mulai diisolasi dari kontak dunia luar, shalat, atau hanya diperkenankan
adanya kontak saat melaksanakan dzikir atau pertemuan karena memberi
kajian. Beliau sering melaksanakan khalwat di kota Nabi. Kata beliau :
Tidak seorang pun diberi kehormatan melakukan khalwat bersama syaikh
mereka. Aku mendapatkan kesempatan ini berada dalam satu ruangan dengan
Syaikh Abdullah di Madinah. Sebuah ruangan kuno dekat masjid suci Nabi
Muhammad saw. Disana terdapat satu pintu dan satu buah jendela. Segera
setelah kami memasuki ruangan itu, syaikh menutup jendela rapat-rapat
dan beliau mengijinkan aku keluar hanya pada saat menunaikan shalat 5
waktu di Masjid Nabi.
Beliau mengingatkan aku agar ‘mengawasi langkah / nazar bar qadam’
ketika dalam perjalanan menuju tempat shalat. Dengan disiplin dan
mengontrol penglihatan kita berarti memutuskan diri dari segala hal
kecuali pada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Besar beserta Nabi-Nya.
Syaikh Abdullah tidak pernah tidur selama khalwat berlangsung. Selama
satu tahun aku tidak pernah melihat beliau tidur dan menyentuh makanan.
Hanya semangkuk sup dan sepotong roti disediakan untuk kami setiap
harinya. Beliau selalu memberikan bagiannya kepadaku. Beliau hanya minum
air dan tidak pernah meninggalkan ruangan itu.
Malam demi malam, hari demi hari, Grandsyaikh duduk membaca Qur’an hanya
dengan penerangan lilin, berdzikir dan mengangkat tangannya dalam do’a.
Kadang aku tidak mengerti apa yang beliau ucapkan karena beliau
menggunakan bahasa surgawi. Aku hanya mampu memahaminya lewat ilham dan
penglihatan yang datang pada hatiku.
Aku tidak tahu kapan saatnya malam atau pun siang kecuali saat shalat.
Grandsyaikh tidak pernah melihat sinar matahari selama setahun penuh,
kecuali cahaya dari lilin. Dan aku melihat cahaya matahari hanya ketika
pergi untuk shalat.
Melalui khalwat tersebut, spiritualitasku meningkat ke tingkatan yang
berbeda-beda. Suatu hari aku mendengar beliau mengatakan : ‘Ya Allah,
beri daku kekuatan “Ghawth” / perantara / penolong, dari kekuatan yang
Engkau berikan pada Nabi-Mu. untuk meminta ampunanMu bagi seluruh umat
manusia saat kiamat nanti dan mengangkat mereka menuju Hadirat-Mu.’
Ketika beliau mengatakan hal ini, aku mengalami ‘penglihatan’ keadaan
disaat hari kiamat. Allah swt turun dari Arsh-Nya dan mengadili umat
manusia.. Nabi berada di samping kanan-Nya. Grandsyaikh berada di
sebelah kanan Nabi, dan aku berada di sebelah kanan Grandsyaikh.
Setelah Allah mengadili umat manusia, Dia memberi wewenang Nabi untuk
menjadi perantara ampunan-Nya. Ketika Nabi selesai melakukannya, beliau
meminta Grandsyaikh untuk memberi barakahnya dan mengangkat mereka
dengan kekuatan spiritual yang telah diberikan. Penglihatan itu berakhir
dan aku mendengar Grandsyaikh mengatakan, ‘ Al-hamdulillah,
Al-hamdulillah, Nazim Effendi, aku sudah mendapat jawabannya.’
Suatu hari selesai shalat subuh Grandsyaikh mengatakan, ‘Nazim Effendi,
lihat!’ Kemana harus kulihat, atas, bawah, kanan atau kiri? Ternyata ada
di bagian hati beliau. Sebuah penglihatan muncul. Aku melihat Syaikh
Abdul Khaliq al Ghujdawani muncul dengan tubuh fisiknya dan mengatakan
padaku, ’Oh anakku, syaikh-mu memang unik. Tidak ada yang seperti dia
sebelumnya.‘ Kemudian kami diajak beliau di tempat lain di bumi ini.
‘Allah swt memintaku untuk pergi ke batu itu dan memukulnya’ sambil
menunjuk sebuah batu. Ketika beliau memukulnya, sebuah semburan air
memancar deras keluar dari batu itu. Kata beliau, ‘Air itu akan terus
memancar seperti ini sampai kiamat nanti, dan Allah swt mengatakan
padaku bahwa pada setiap tetes air ini Dia ciptakan satu malaikat
bercahaya yang akan selalu memuji-Nya sampai kiamat nanti.’
Kata Allah : ‘Oh hamba-Ku Abdul Khaliq al-Ghujdawani, tugasmu adalah
memberi nama para malaikat ini dengan nama yang berbeda dan tidak boleh
ada pengulangan. Hitung pula berapa kali pujian-pujian mereka, kemudian
bagikan pada seluruh pengikut thariqat Naqsybandi. Itulah tanggung
jawabmu.” Aku takjub akan beliau beserta tugas luar biasa yang
diembannya.
Penglihatan itu terus berlanjut serasa menghujaniku. Pada hari terakhir
khalwat kami setelah shalat subuh aku mendengar suara-suara dari arah
luar ruangan kami. Suara orang dewasa dan suara anak-anak menangis.
Tangisan itu semakin menjadi-jadi dan berlangsung berjam-jam. Aku tidak
tahu siapa yang menangis karena tidak diizinkan untuk melihatnya.
Grandsyaikh bertanya, “Nazim Effendi, tahukah kamu siapa yang sedang
menangis?”
Walaupun aku tahu bahwa itu bukan tangisan manusia, namun aku menjawab, ”Oh syaikh, engkaulah yang lebih mengetahuinya.”
“Setan mengumumkan pada komunitasnya bahwa 2 manusia di bumi ini telah lolos dari kendalinya."
Kemudian aku melihat setan dan bala tentaranya telah dirantai dengan
rantai surgawi untuk mencegah mereka mendekati syaikh dan aku.
Penglihatan itu berakhir. Grandsyaikh meletakkan tangannya di dadaku
sambil mengatakan, ”Alhamdulillah, Nabi bahagia akan aku dan kamu.”
Lalu aku melihat Nabi Muhammad beserta 124.000 nabi-nabi lain, 124.000
sahabat-sahabatnya, 7007 awliya-awliya Naqsybandi, 313 awliya agung, 5
Qutb dan Ghawth. Semuanya memberi selamat kepadaku. Mereka mengalirkan
dalam hatiku ilmu spiritual mereka. Aku mewarisi dari mereka
rahasia-rahasia thariqat Naqsybandi dan 40 thariqat-thariqat lainnya.
Karamah Syaikh Nazim
Pada tahun 1971, Syaikh Nazim seperti biasa berada di Siprus selama 3
bulan; Rajab, Shaban, dan Ramadhan. Suatu hari di bulan Shaban, kami
mendapat telepon dari bandara di Beirut. Ternyata dari Syaikh Nazim yang
meminta kami untuk menjemputnya. Kami terkejut karena tidak mengira
beliau akan datang.
“Aku diminta Nabi untuk menemuimu hari ini karena ayahmu akan wafat. Aku
yang akan memandikan jenazahnya, mengkafani dan menguburkannya lalu
kembali ke Siprus.“
“ Oh, syaikh. Ayah kami dalam keadaan sehat. Tidak ada sesuatu terjadi pada beliau.”
“Itulah yang dikatakan padaku.” Jawab beliau dengan amat yakin. Kami pun
menyerah saja karena apapun yang dikatakan syaikh kami harus
menerimanya.
Beliau meminta kami mengumpulkan seluruh keluarga untuk melihat ayah
kami terakhir kalinya. Kami mempercayainya dan melaksanakannya walaupun
ada yang terkejut dan ada yang tidak mempercayainya saat kami
memanggilnya. Ada yang hadir dan ada yang tidak. Ayahku tidak mengetahui
masalah ini, hanya melihat kunjungan keluarga sebagai hal yang biasa.
Jam tujuh kurang seperempat. Kata syaikh Nazim, ”Aku harus naik ke
apartemen ayahmu untuk membaca surat Ya Sin tepat ketika beliau wafat.”
Lalu beliau naik dari flat kami dibawah. Ayahku memberi salam pada
Syaikh Nazim lalu mengatakan, ”Oh Syaikh Nazim, sudah lama kami tak
mendengar anda membaca Qur’an. Maukah anda melakukannya untuk kami?”
Syaikh Nazim pun mulai membaca surat Ya Sin. Ketika beliau selesai
membacanya, jarum jam menunjukkan tepat pukul tujuh. Persis ketika
ayahku berteriak, ”Jantungku, jantungku..!!” Kami merebahkan beliau,
kedua saudaraku yang sama-sama dokter memeriksa ayah. Jantungnya
berdebar keras tak terkontrol dan dalam hitungan menit, beliau
menghembuskan nafas terakhirnya.
Semua orang melihat pada Syaikh Nazim dengan takjub dan keheranan.
“Bagaimana beliau mengetahuinya? wali macam apakah beliau? bagaimana
bisa dari Siprus, beliau datang hanya untuk hal ini? rahasia seperti
apakah yang ada di hatinya? “Rahasia yang di simpan beliau adalah berkat
sayang Allah swt pada beliau. Allah memberi wewenang akan kekuatan dan
ramalan karena beliau memelihara keikhlasan, ketaatan, dan kesetiaan
pada agama Allah. Beliau menjaga kewajiban dan ibadahnya. Beliau
menghormati Al-Quran. Beliau sama dengan seluruh Awliya Naqsybandi
sebelumnya, seperti halnya seluruh awliya thariqat lain dan para
leluhurnya, Syaikh Abdul Qadir Jailani dan Jalaluddin Rumi dan Muhyiddin
Ibn Arabi yang menaati tradisi-tradisi Islam selama 1400 tahun. Dengan
cinta Ilahi itu beliau akan dianugerahi pengetahuan Ilahiah,
kebijaksanaan, spiritualitas dan segala hal. Beliau akan menjadi orang
yang mengetahui akan masa lalu, saat ini dan masa depan.
Kami merasa terperangkap diantara dua emosi. Satu, karena tangis
kesedihan kami akan wafatnya ayah dan yang kedua kebahagiaan atas apa
yang diperbuat oleh guru kami pada almarhum ayah. Kedatangan beliau demi
ayah kami pada akhir hayatnya tidak akan pernah kami lupakan. Beliau
memandikan jasad dengan tangan beliau yang suci. Setelah semua tugas
dijalankan, beliau kembali lagi ke Siprus tanpa diundur.
Suatu ketika Syaikh Nazim mengunjungi Lebanon selama 2 bulan pada musim
haji. Gubernur kota Tripoli, Lebanon yang bernama Ashar ad-Danya
merupakan pemimpin resmi suatu kelompok haji. Beliau menawari Syaikh
Nazim untuk pergi bersama menunaikan ibadah haji. Kata Syaikh, ”Saya
tidak bisa pergi dengan anda, tapi insya Allah, kita akan bertemu
disana.”
Gubernur tetap memaksa. “Jika anda pergi, pergilah dengan saya. Jangan
dengan orang lain.” Syaikh Nazim menjawab, ”Saya tidak tahu apakah saya
akan pergi atau tidak.”
Ketika musim haji telah usai dan gubernur telah kembali, beliau segera
menuju ke rumah Syaikh Nazim. Dihadapan sekitar 100 orang, kami
mendengar beliau mengatakan, ”Oh Syaikh Nazim, mengapa anda pergi dengan
orang lain dan tidak bersama kami?” Kami pun menjawab, ”Syaikh tidak
pergi haji. Beliau bersama kami disini selama 2 bulan berkeliling
Lebanon.”
Gubernur berkata, ”Tidak! beliau pergi haji, kami punya saksi-saksi.
Waktu itu saya sedang thawaf dan Syaikh Nazim mendatangiku lalu
mengatakan’ Oh Ashur, anda di sini?’ saya mengiyakan dan kami melakukan
thawaf bersama-sama. Beliau menginap di hotel kami di Makkah. Dan
menghabiskan siang hari bersama di tenda kami di Arafat. Beliau juga
menginap bersama saya di Mina selama 3 hari. Lalu beliau mengatakan ‘Aku
harus ke Madinah mengunjungi Nabi saw.’
Kemudian kami menatap Syaikh Nazim yang menampakkan senyum khasnya dan
seakan-akan mengatakan: “Itulah kekuatan yang dianugerahkan Allah pada
para awliya-Nya. Bila mereka berada di jalan-Nya, meraih cinta-Nya dan
hadirat-Nya, Allah akan menganugerahi segala hal.’
“Oh syaikh-ku, karamah apa yang engkau tunjukkan pada kami adalah sangat
luar biasa. Tidak pernah aku melihatnya selama hidupku. Aku ini seorang
politikus. Aku percaya pada akal dan logika. Kini aku harus mengakui
bahwa anda bukanlah orang biasa. Anda mempunyai kekuatan supranatural.
Sesuatu yang Allah sendiri anugerahkan pada anda!”
Gubernur itu mencium tangan Syaikh Nazim dan meminta bay’at di dalam
Thariqat Naqsybandi. Kapan pun Syaikh Nazim mengunjungi Lebanon,
gubernur dan perdana mentri Lebanon akan duduk dalam komunitas Syaikh
Nazim. Sampai saat ini, keluarga-keluarga beliau dan masyarakat Lebanon
menjadi pengikut Syaikh Nazim.
2 komentar: