Perlindungan Anak Dalam Konflik Bersenjata

00.12 Unknown 0 Comments




PERLINDUNGAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA
DITINJAU DARI SEGI HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
(Studi Perlindungan Anak dalam Konflik Bersenjata ditinjau dari hukum Humaniter)

MAKALAH
Digunakan Untuk Memenuhi
Nilai Ujian Tengah Semester
Hukum Humaniter Internasional

Oleh :
Setyakandhy Imam Kusuma



UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2008


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Hukum  perang  atau  yang  sering  disebut dengan  hukum  Humaniter  internasional, atau  hukum  sengketa  bersenjata   memilik sejarah  yang  sama  tuanya  dengan peradaban  manusia,  atau  sama  tuanya dengan  perang  itu  sendiri.  Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu  kenyataan  yang  menyedihkan  bahwa selama  3400  tahun  sejarah  yang  tertulis, umat  manusia  hanya  mengenal  250  tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri  kemudian  membawa  keinsyarafan bahwa cara  berperang yang tidak mengenal batas  itu  sangat  merugikan  umat  manusia, sehingga  kemudian  mulailah  orang mengadakan  pembatasan-pembatasan, menetapkan  ketentuan-ketentuan  yang mengatur  perang  antara  bangsa-bangsa.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan  aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter bar dimulai pada abad  ke-19.  Sejak  itu,  negara-negara  telah setuju  untuk  menyusun  aturan-aturan praktis,  yang  berdasarkan  pengalaman- pengalaman  pahit  atas  peperangan modern.  Hukum  humaniter  itu  mewakili suatu  keseimbangan  antara  kebutuhan kemanusiaan  dan  kebutuhan  militer  dari negara-negara.  Seiring  dengan berkembangnya  komunitas  internasional, sejumlah  negara  di  selu ruh  dunia  telah memberikan  sumbangan  atas perkembangan  hukum  humaniter internasional.  Dewasa  ini,  hukum humaniter  internasional  diakui  sebagai suatu  sistem  hukum  yang  benar-benar universal.
Pada  umumnya  aturan  tentang  perang  itu termuat  dalam  a turan  tingkah  laku,  moral dan  agama.  Hukum  untuk  perlindungan bagi  kelompok  orang  tertentu  selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui  sejarah  di  hampir  semua  Negara atau  peradaban  di dunia.  Dalam  pera daban bangsa  Romawi  dikenal  konsep  perang yang  adil  (just  war).  Kelompok  orang tertentu  itu  meliputi  penduduk  sipil,  anak- anak,  perempuan,  kombatan  yang meleta kkan senjata dan tawanan perang.
Keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan (yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang  ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil).
Pandangan umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan disebabkan oleh kurang memadainya  aturan-aturan yang termaktub dalam hukum tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menghormatinya, oleh kurang memadainya sarana yang tersedia untuk menegakkannya, oleh ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin politik, komandan, kombatan, dan masyarakat umum tentang hukum tersebut. Konferensi International tentang Perlindu ngan Korban Perang yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan Agustus-September 1993 membahas secara khusus cara-cara untuk menanggulangi pelanggaran HHI tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah  perjanjian internasional  baru.

Tujuan Hukum Humaniter Intenasional
Tujuan studi Hukum Humaniter  Internasional Kebiasaan (HHI Kebiasaan) ini ialah untuk mengatasi sebagian dari masalah-masalah  yang berkaitan dengan penerapan Hukum Humaniter Internasional Perjanjian  (HHI Perjanjian).  HHI Perjanjian telah disusun dengan baik dan telah mencakup banyak aspek menyangkut peperangan. Dengan demikian, HHI Perjanjian memberikan perlindungan kepada beragam orang selama berlangsungnya perang dan membatasi sarana dan cara berperang yang boleh dipakai. Konvensi-konvensi Jenewa Beserta Protokol-protokol Tambahannya merupakan rezim peraturan  yang ekstensif untuk melindungi orang-orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan. Aturan-aturan me ngenai sarana dan cara berperang sebagaimana termaktub dalam  HHI Perjanjian berasal dari Deklarasi St. Petersburg 1868, Peraturan Den Haag 1899 dan 1907, dan Protokol Gas Jenewa 1925. Aturan-aturan tersebut belum lama ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam Konvensi Senjata Biologi 1972, Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977 untuk Konvensi-konvensi Jenewa, Konvensi Senjata Kimia 1993, dan Konvensi Ottawa 1997 tentang Pelarangan Ranjau Darat Antipersonil. Perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik bersenjata diatur secara rinci dalam Konvensi Den Haag 1954 beserta kedua Protokolnya. Statuta Pengadilan Pidana Internasional 1998 berisi, antara lain, daftar kejahatan-kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi Pengadilan tersebut.
Keempat Konvensi Jenewa 1949 memang telah diratifikasi oleh semua negara di dunia, tetapi tidak demikian halnya dengan perjanjian- perjanjian internasional lainnya dalam HHI, misalnya saja: Protokol-protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Walaupun Protokol Tambahan I telah diratifikasi oleh lebih dari 160 Negara, efektivitasnya dewasa ini masih terbatas karena beberapa Negara tertentu yang terlibat dalam konflik bersenjata internasio nal masih belum menjadi pesertanya. Demikian pula, Protokol Tambahan II telah diratifikasi o leh hampir 160 Negara, tetapi beberapa Negara tertentu yang dewasa ini terlibat dalam konflik bersenjata non-internasional belum meratifikasinya. Yang kedua, banyak dari konflik-konflik bersenjata yang dewasa ini berlangsung adalah konflik bersenjata non-internasional, dan konflik bersenjata jenis ini belum diatur secara cukup rinci o le h HHI Perjanjian.  Hanya perjanjian internasional dalam jumlah terbatas saja yang berlaku dalam konflik bersenjata non- internasional, yaitu Konvensi Senjata Konvenvional Tertentu sebagaimana telah diamandemen, Statuta Pengadilan Pidana Internasional, Konvensi Ottawa tentang Pelarangan Ranjau Darat Antipersonil, Konvensi Senjata  Kimia, Konvensi Den Haag tentang Perlindungan Benda Budaya beserta Protokol Kedua-nya dan, sebagaimana telah disebutkan di atas, Protokol Tambahan II 1997 untuk Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa tersebut. 
Protokol Tambahan II masih belum cukup rinci dibandingkan dengan aturan-aturan yang mengatur konflik bersenjata internasio nal sebagaimana terdapat dalam Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I.


Perlindungan anak merupakan sebuah isu bagi setiap anak di setiap negara di dunia:
Pada  saat  ini,  lebih  dari  300.000  tentara  anak-anak,  sebagian  ber usia  sekitar  delapan tahun, dieksploitasi  dalam  konflik  bersenjata  di  lebih  dari  30 negara. Lebih dari  2 juta anak-anak di perki rakan telah meninggal sebagai  akibat langsung dari  konflik bersenjata  semenjak tahun 1990.
Dalam konflik bersenjata internasional sekalipun, anak-anak yang bukan bagian dari permusuhan dilindungi oleh hukum humaniter internasional. Geneva Conventions 1949 maupun Additional Protocols of 1997 memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak. Bahkan, seandainya apabila benar ada anak-anak yang menjadi bagian dari permusuhan (orang dewasa) itu, anak-anak tetap tidak kehilangan haknya atas perlindungan khusus.
Satu serangan atas zona permukiman sipil di Qana saja sudah mudah menuduh Israel melakukan kejahatan perang. Anak-anak dan warga sipil yang tidak terkait konflik telah nyata menjadi korban bombardir Israel ahad lalu. Dengan istrumen hukum humaniter Geneva Conventions 1949, Additional Protocols 1977, maupun Statuta Rome of ICC, Israel melakukan kejahatan perang.
Jauh sebelum serangan Israel pada anak-anak di Qana, pada tahun 1974, Majelis Umum PBB mengesahkan The Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict (Res 3318 (XXIX)). Deklarasi ini memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan, yakni dari serangan dan pengeboman menggunakan senjata kimia dan bakteri, memenuhi semua konvensi dan semua instrumen internasional, semua usaha untuk menghindari penderitaan anak dan perempuan dalam perang, dan seterusnya. Sepatutnya PBB mengusut, melakukan respon keras, dan menyeret Israel dalam kepatuhan total pada mekanisme PBB melindungi anak-anak dalam perang sekalipun.
Sebagai komisi independen perlindungan anak yang menjunjung hak-hak universal anak, logis saja Komnas Perlindungan Anak berkepentingan menyuarakan hak-hak anak korban perang, dan mendesak Indonesia lebih proaktif mengambil partisipasi. Mengapa? Karena perang telah merusak peradaban dan masa depan anak-anak. Cermatilah data dan informasi berikut ini.
Dari beberapa laporan, konflik bersenjata berdampak buruk dan permanen kepada anak-anak di seluruh dunia. Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, dalam State of the World's Children 1996, melaporkan dalam periode 1985- 1995 konflik bersenjata telah mengakibatkan dampak buruk dan permanen pada anak-anak.

B.     Rumusan Masalah
Dalam kaitannya dengan pembahasan yang telah saya uraikan dalam latar belakang diatas maka masalah pokok yang akan diteliti dalam tugasa akhir ini dirumuskan sebagai berikut :
1.      Apakah aturan-aturan yang mengatur tentang perlindungan anak-anak?
2.      Bagaimana perlindungan terhadap anak-anak dalam konflik besenjata ditinjau dari hukum humaniter internasional?

C.     Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur tentang perlindungan anak-anak
2.      Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhdap anak-anak dalam konflik bersejataditinjau dari segi hukum humaiter internasional.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERATURAN-PERATURAN YANG MENGATUR TENTANG PERLINDUNAN ANAK-ANAK

Standar Internasional Tentang Perlindungan Anak

Anak-anak memiliki hak-hak untuk diakui dalam hukum internasional semenjak tahun 1924, ketika Deklarasi tentang Hak-hak Anak internasional yang pertama diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa. Instrumen-instrumen  hak-hak  azasi  manusia  berikutnya  –  dari  Perserikatan  Bangsa-bangsa, seperti  Deklarasi  Universal  Hak–hak  Azasi  Manusia  1948,  dan  instrumen-instrumen  regional seperti  Deklarasi  Amerika  tentang  Hak-hak  dan  Kewajiban  Manusia  yang  dibuat  pada  tahun yang sama – mengakui secara lebih umum hak manusia untuk bebas dari kekerasan, abuse, dan ekploitasi. Hak-hak  ini berlaku bagi setiap orang, termasuk anak-anak, dan dikembangkan lebih jauh dalam instrumen-instrumen seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Politik dan Hak- hak Sipil 1966.
Konsensus  internasional  yang  dikembangkan  mengenai  perlunya  suatu  instrumen  baru  yang akan secara eksplisit meletakkan dasar-dasar mengenai hak-hak anak khusus dan istimewa. Pada tahun 1989, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak diadopsi oleh Sidang Majelis Umum. Konvensi ini dengan cepat menjadi perjanjian hak-hak azasi manusia yang paling  luas diratifi kasi dalam sejarah, diratifi kasi hampir secara universal. Konvensi Hak-hak Anak, dalam beberapa hal meningkatkan standar internasional mengenai hak- hak anak.
 Konvensi  ini menjelaskan  dan  secara hukum mengikat  beberapa hak-hak anak yang dicantumkan pada instrumen-instrumen sebelumnya. Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan baru yang  berkaitan  dengan  anak, misalnya, yang  berkenaan dengan hak  untuk  berpartisipasi, dan prinsip bahwa dalam  semua  keputusan  yang  menyangkut  anak, kepentingan  terbaik  bagi bagi  anak  harus  diutamakan. 
Konvensi  juga  untuk  pertama  kalinya  membentuk  suatu  badan internasional yang bertanggung jawab untuk mengawasi penghormatan atas hak-hak anak, yakni
Komite Hak-hak Anak (Committee on the Rights of the Child).
Pengakuan hak-anak atas perlindungan tidak hanya terbatas pada Konvensi Hak-hak Anak. Ada sejumlah instrumen, baik instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun instrumen dari badan internasional lainnya, yang juga memasukkan hak-hak ini. Instrumen-instrumen itu meliputi:
•  Piagam Afrika tentang Hak-hak dan Kesejahteraan  Anak, Organisasi  Persatuan Afrika yang sekarang disebut Uni Afrika (The African Charter on the Rights and Welfare of the Child of  the Organisation for African Unity ) tahun 1993.
•  Konvensi-konvensi Jenewa mengenai Hukum Humaniter Internasional  (1949) dan Protokol Tambahannya (1977)
•  Konvensi  Buruh  Internasional  No.  138  (1973),  yang  menyatakan  bahwa,  secara  umum, seseorang yang berusia  di bawah  18 tahun, tidak  boleh dipekerjakan dalam  bidang-bidang pekerjaan  yang  berbahaya  bagi  kesehatan  dan  perkembangan  mereka,  dan  Konvensi Organisasi Buruh  Internasional No. 182  (1999) mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Menghapus Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak.
•  Protokol  bagi  Konvensi  Perserikatan  Bangsa-bangsa  tentang  Kejahatan  Transnasional Terorganisasi untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-anak.


Ratifikasi Instrumen Internasional

Badan-badan pembuat undang-undang sebuah negara yang belum melakukan ratifi kasi hendaknya mempertimbangkan ratifi kasi atau menyetujui perjanjian-perjanjian internasional yang melindungi anak-anak  dari  bahaya  kon  ik  bersenjata,  memastikan  bahwa  komitmen politik  mereka  untuk membuat perlindungan anak menjadi permanen dan mengikat secara sah. Beberapa instrument penting mengenai hal ini mencakup:
•  Protokol Pilihan Konvensi Hak-hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Kon  ik Bersenjata
•  Protokol I dan Protokol II Konvensi Jenewa
•  Konvensi  Ottawa  1997  tentang  Pelarangan,  Penumpukan,  Pembuatan  dan  Pengiriman Ranjau anti Personil dan Penghancurannya
•  Konvensi  Paris  1993  tentang  pelarangan  pengembangan,  pembuatan,  penyimpanan  dan penggunaan senjata kimia dan penghancurannya.
Pertimbangan  harus  diberikan  untuk  mengadopsi  perjanjian-perjanjian  yang  berkaitan  dengan kerjasama dengan Negara lain  dalam penuntutan penjahat perang,  misalnya, melalui ekstradisi penjahat perang yang mencari perlindungan di Negara mereka.
Negara-negara  anggota  yang  belum  melaksanakannya  dapat  juga  mempertimbangkan  untuk menjadi anggota dari:
•  Statuta Mahkamah Internasional, yang mengakui kompetensi Mahkamah itu untuk mengadili kejahatan–kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
•  Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967-nya. Negara-negara  anggota  Uni  Afrika  hendaknya  mempertimbangkan  untuk  menjadi  anggota Konvensi OAU 1969 yang Mengatur Aspek-aspek Khusus Masalah Pengungsi di Afrika.

Reformasi Hukum

Perundang-undangan  Pidana  hendaknya  ditelaah  kembali  dengan  tujuan  untuk  memastikan bahwa  pelanggaran  berat  hukum  humaniter  internasional  --  termasuk  eksekusi,  penyiksaan, mutilasi dan kekerasan seksual terhadap penduduk sipil dan serangan terhadap warga sipil yang disengaja—diakui  sebagai  kejahatan,  sebagaimana  dipersyaratkan  oleh  Konvensi  Jenewa  dan Protokol-protokolnya.
Perundang-undangan  mengenai  imigrasi  hendaknya  ditelaah  kembali  dengan  tujuan  untuk memastikan bahwa hak-hak berikut diakui:
•  Hak  pencari  suaka  anak-anak  atas  perlakukan  yang  berperikemanusiaan,  hukum  yang sesuai dan bantuan lainnya dan mendesak agar keputusan mengenai permohonan mereka dilakukan segera.
•  Hak pengungsi anak-anak untuk tinggal dan dirawat oleh keluarganya. Negara-negara yang  mempunyai  warga  terusir  harus  sungguh–sungguh  mempertimbangkan diberlakukannya  perundang-undangan  berdasarkan  pada  Prinsip-prinsip  Panduan  tentang Internal Placement.

Instrumen-instrumen hukum Internasional dan Regional

Menjadi  bagian  dari  instrumen  hukum  regional  dan  internasional  yang  berurusan  dengan perlindungan  anak  memberikan  pesan  yang  sangat  jelas  kepada masyarakat  internasional  dan pemangku kepentingan (stakeholder) di tingkat domestik bahwa suatu negara berkomitmen untuk menjamin perlindungan anak, serta menjamin penerapan undang-undang, kebijakan, dan program-program untuk mencapai sasaran -sasaran itu.
Ada  sejumlah  instrumen  internasional  yang mencermati dan menjawab masalah perlindungan anak. Instrumen-intrumen ini meliputi:
•  Konvensi Hak-hak Anak
•  Kovenan Internasional tentang Hak-hak Politik dan Hak-hak Sipil
•  Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
•  Konvensi ILO tentang Usia Minimum (no. 138).
•  Konvensi ILO tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (no. 182);
•  Konvensi  Den  Haag  mengenai  Perlindungan  Anak  dan  Kerjasama  tentang  Adopsi  Antar Negara
•  Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Anak, Khususnya Wanitadan Anak-anak.


B.     PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Anak terus saja menjadi korban utama konflik bersenjata. Penderitaan mereka sangat beragam bentuknya. Anak dibunuh, kehilangan orangtua karena mereka tewas, dibuat cacat, diculik, kehilangan hak atas pendidikan dan kesehatan, dan menderita luka dan trauma batin dan emosi yang mendalam. Anak-anak yang dipaksa untuk meninggalkan rumahnya, mengungsi, dan terusir dari tempat tinggalnya sendiri, sangatkah rentan khususnya terhadap kekerasan, pengerahan, eksploitasi seksual, penyakit, kurang gizi, dan kematian. Anak dikerahkan dan digunakan sebagai tentara anak-anak dalam skala yang sangat besar. Status gadis/anak perempuan memberikan resiko tambahan, khususnya terhadap kekerasan seksual. Pelanggaran terhadap hak-hak anak yang menyolok terjadi suasana impunitas yang begitu meruyak.

Konvensi Hak-hak Anak
Konvensi  itu  mengandung  standar-standar  mengenai  partisi pasi  anak-anak  dalam  konflik bersenjata dan rekrutmen anak:
•  Negara-negara anggota tidak boleh merekrut siapapun yang berusia di bawah 15 tahun dalam bagian apapun di dalam angkatan bersenjata.
•  Sebuah  negara  yang  merekrut  orang-or ang  yang  berusia  antara  15  dan  18  tahun  harus memulai perekrutannya dari mereka yang berusia mendekati 18 tahun.
•  Semua negara harus mengambil langlah-langkah yang memadai untuk mencegah partisipasi langsung  siapapun  yang  berusia  dibawah  15  tahun  dalam  pertikaian,  apakah  di  pihak pemerintah atau di pihak kelompok bersenjata lainnya.

Protokol Pilihan Konvensi Hak Hak Anak
Untuk  memperkuat ketentuan  ini,  sebuah Protokol Pilihan  bagi  Konvensi  mengenai  pengunaan anak-anak dalam kon  k bersenjata disahkan pada tahun 2000 dalam upaya untuk memungkinkan negara-negara anggota  membuka  komitmen  yang  lebih besar  terhadap  perlindungan  anak dari keikutsertaan  mereka  dalam  kon  ik  bersenjata  dan  perekrutan  ke  dalam  angkatan  bersenjata.
Protokol tersebut mulai berlaku pada tahun 2002, dan sebagian menentukan bahwa:
•  Rekrutmen mereka yang berusia dibawah 18 tahun harus benar-benar bersifat suka rela.
•  Kelompok-kelompok  bersenjata  non-pemerintah  sama  sekali  tidak boleh  merekrut  mereka yang berusia di bawah 18 tahun atau menggunakan mereka dalam pertikaian.
•  Negara-negara  anggota  harus memberikan  kepada anak-anak yang  sudah  ikut  serta  dalam konflik  bersenjata,  dalam  pelanggaran  konvensi  atau  Protokol,  rehabilitasi  psikologis  dan  pengembalian mereka kepada masyarakat.

Dalam  Perserikatan  Bangsa-Bangsa,  Dewan  Keamanan  dan  Sekertaris  Jenderal  telah menempatkan masalah perlindungan anak dalam keadaan kon  ik bersenjata secara tegas dalam agenda keamanan dan perdamaian. Resolusi  Dewan  Keamanan no.  1261 (1999)  dan no. 1314 2000) membuat rekmendasi bahwa, bila dipandang perlu, seorang penasehat perlindungan anak (Child Protection  Adviser -  CPA) dipekerjakan  oleh Perserikatan  Bangsa-Bangsa sebagai bagian dari operasi  penjagaan  perdamaian. CPA ini membantu Perwakilan Khusus Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (sebagai pimpinan operasi penjagaan perdamaian atau operasi untuk mendukung upaya perdamaian) untuk menjamin hak-hak, perlindungan, dan kesejahteraan anak menjadi prioritas selama proses penjagaan perdamaian berjalan.
Penasehat perlindungan anak pertama kali diterjunkan di Republik Demokrasi Kongo pada tahun 1999,  kemudian di  Sierra  Leone pada  tahun 2000.  Semenjak  itu,  Unit-unit  Perlindungan Anak telah disertakan dalam Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Republik Demokrasi Kongo (MONUC) dan Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa  di Sierra Leone (UNAMSIL). CPA lainnya  diterjunkan dan disetujui untuk Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Angola (UNMA), dan Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Pantai Gading (MINUCI) dan Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Liberia (UNMIL).

Konvensi Hak-hak Anak
Pasal 38 Konvensi tersebut menyatakan bahwa: Negara-negara anggota berupaya menghormati dan  menjamin  pernghormatan  terhadap  aturan-aturan  hukum  humaniter  internasional  yang berlaku bagi mereka dalam konflik bersenjata yang relevan dengan perlindungan anak.  Pasal itu menambahkan  bahwa “(sesuai  dengan  kewajiban mereka dalam  hukum humaniter internasioal untuk melindungi warga sipil dalam konfliik bersenjata, negara-negara anggota harus mengambil langkah-langkah yang  dipandang perlu  untuk menjamin perlindungan dan perawatan  anak  yang menjadi korban konflik bersenjata.”

Hukum Humaniter Internasional
Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dan protokol yang disetujui pada tahun 1977 mengatur aturan-   aturan perlindungan  warga sipil, t ermasuk beberapa  yang  secara  spesifik  memberi  perhatian pada perli ndungan anak. Pasal  3  sebagian menetapkan bahwa  non-pasukan, termasuk  warga sipil, 
“dalam  keadaan  apapun  harus  diperlakukan  secara  berperikemanusiaan  tanpa  ada perbedaan  yang  merugikan  berdasar kan  pada  ras,  warna  kulit,  agama,  kepercayaan,  jenis kelamin, kelahiran, kekayaan, atau kriteria sejenisnya.”
“Secara khusus, semua bentuk kekerasan terhadap  kehidupan  dan  pribadi, termasuk  pembunuhan,  mutilasi ,  perlakuan  kejam  dan penyiksaan, penyanderaan, dan kesewenang-wenangan terhadap mar tabat pribadi”
Termasuk kekerasan seksual, dan  pelacuran  paksa,  sangat  dilarang.  Semua negara  memiliki  kewajibanuntuk menjamin bahwa undang-undang pidana negara tersebut menghukum tindakan-tindakan yang dilarang dalam Pasal Umum 3.
Pasal 17 Konvensi IV Jenewa mempersyaratkan bahwa ketika sebuah wilayah dikepung, penguasa setempat harus mengupayakan perundingan untuk mengeluarkan anak-anak serta  mereka yang terluka, sakit,  berusia  lanjut  dan  sakit-sakitan.  Pasal 23  Konvensi  IV  Jenewa  mempersyaratkan bahwa  semua  Negara  harus  mengijinkan  masuknya  perlengkapan  medis  yang  ditujukan  bagi warga sipil, dan makanan serta pakaian bagi anak-anak.
Secara umum, anak-anak berhak atas penghormatan dan perlindungan khusus dari segala bentuk penyerangan yang brutal. Protokol Tambahan II dalam pasal 4 (3) menjelaskan hak-hak anak atas perawatan dan bantuan yang mereka perlukan, apakah karena usianya atau karena alasan lain.
Anak  yatim  (piatu)  dan  anak  yang  terpisah  dari  orangtuanya  harus  disediakan  perawatan  dan pendidikan.  Pihak-pihak  yang  berkonflik harus  mengambil  langkah-langkah  untuk  memfasilitasi penyatuan kembali keluarga yang  terpisahkan oleh konflik dan, pada khususnya, untuk menjaga identitas anak.

Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan
Pengungsi (UNHCR)  telah mengadopsi  paduan rinci mengenai perlakuan pengungsi anak–anak dan  pencari  suaka  anak-anak,  dan  menawarkan  bantuan  teknis  dan  materi  dalam  berurusan dengan masalah tersebut. Beberapa dari hak yang paling dasar dari pencari suaka dan pengungsi anak-anak adalah:
•  Hak pencari suaka anak-anak untuk hearing dengan mempertimbangkan usia dan keadaannya dan hak atas bantuan khusus untuk mengajukan permohonannya.
•  Hak  untuk  tidak  ditahan sementara  permohonannya  sedang  dipertimbangkan, kecuali  bila penahanan  dipandang sangat perlu, dan dalam  hal  apapun,  hak untuk tidak  ditahan dalam jangka waktu yang lama
•  Hak  anak-anak  yang  tidak  terdampingi  untuk  dilindungi  identitasnya  dan  untuk  disatukan kembali dengan keluarganya, bila memungkinkan.
•  Hak  untuk  dilindungi  dari  kekerasan  fi sik,  kekerasan  seksual  dan  eksploitasi  seksual, khususnya ketika tinggal di kamp pengungsi yang besar.

Hak-hak Anak di wilayah Pendudukan
Konvensi  Jenewa  IV  memuat  ketentuan-ketentuan  rinci  mengenai  hak-hak  warga  negara  di wilayah pendudukan. Berikut adalah hak-hak yang paling relevan bagi anak-anak:
•  Pemindahan massal warga sipil secara paksa dilarang
•  Pasukan  pendudukan  harus  mengambil  langkah-langkah  untuk  mempertahankan/menjaga identitas dan hubungan keluarga anak-anak dan “memfasilitasi beroperasinya semua lembaga yang  mengabdikan dirinya  di bidang pendidikan dan perawatan  anak” dengan bekerjasama dengan penguasa nasional dan penguasa setempat.
•  Anak yang menjadi yatim (piatu) dan anak yang terpisah dari orangtuanya hendaknya dirawat oleh saudara dekat atau sahabat, kapanpun memungkinkan.
•  Anak tidak boleh dilibatkan dalam pembentukan organisasi-organisasi yang berada di bawah penguasa pendudukan, dan tidak diwajibkan untuk melakukan kerja dalam bentuk apapun.
•  Anak-anak, ibu-ibu yang mau melahirkan, kasus-kasus maternitas, dan ibu-ibu yang menyusui   harus diberi prioritas dalam pendistribusian bantuan.

















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Perang atau konflik bersejata bukannlah tempat untuk anak-anak. Karena pada saat terjadinya perang anak-anak yang tidak bersalah yang seringkali menjadi korban kekerasan, ancaman, pembunuhan, hukuman penjara dan penyiksaan. Perang merusak dan menghilangkan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak yaitu, hak untuk hidup, hak untuk bersama keluarga dan masyarakat, hak untuk memperoleh kesehatanyang layak, hak untuk mengembangkan kepribadian, dan hak untuk dijaga dan dilindungi.
Dalam kaitanya dengan hak hidup, Konvensi PBB tentang anak (KHA) maupun oleh hukum Humaniter Internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama
Senada dengan itu, dalam hukum humaniter internasional dikenal pula beberapa hak yang tidak boleh dicabut dalam keadaan apapun, yakni hak hidup dan hak atas integritas fisik serta moral. Hak-hak tersebut harus dilindungi dalam segala keadaan.
B. SARAN
Melindungi anak-anak dari kekerasan, agresi dan bombardir produk permusuhan orang dewasa di sekitar anak, adalah tanggungjawab dan kewajiban kemanusiaan. Meraka bukan peserta perang dan bukan bagian dari permusuhan. Jaminlah mereka sebagai zona netral dan kawasan damai. Anak-anak adalah putra-putri kehidupan yang menentramkan.
Perlindungan  anak  harusmendapat  perhatian  khusus  dalam  suatu  krisis  kemanusiaan  dan keadaan darurat. Beberapa  keadaan  darurat tertentu  –  terusir  dari daerah  tempat  tinggalnya, kurangnya akses  kemanusiaan, rusaknya  struktur sosial dan  keluarga, erosi sistem-sistem  nilai tradisional, budaya kekerasan, pemerintahan yang lemah, tiadanya akuntabilitas dan buruknya akses terhadap pelayanan  sosial  dasar  –  telah  menciptakan  masalah-masalah  perlindungan  anak  yang  cukup serius.  Keadaan  darurat  bisa  mengakibatkan  sejumlah  besar  anak-anak  menjadi  yatim  (piatu), terusir dari tempat tinggal atau terpisah dari keluarganya. Anak-anak mungkin menjadi pengungsi atau terusir di negaranya sendiri, atau terpisah dari keluarganya; diculik atau dipaksa bekerja untuk kelompok-kelompok bersenjata; menjadi cacat akibat bertempur, ranjau darat, atau senjata-senjata yang tidak meledak; dieksploitasi secara seksual selama dan setelah kon  ik; atau diperdagangkan untuk tujuan-tujuan militer. Mereka mungkin menjadi tentara, atau menjadi saksi dalam kejahatan perang atau  dihadapkan pada  mekanisme peradilan. Kon  ik  bersenjata  dan  masa-masa  represi meningkatkan resiko bahwa anak akan disiksa. Demi uang dan perlindungan, anak-anak mungkin akan berpaling ke “seks untuk bertahan hidup’, yang biasanya tidak terlindungi dan beresiko tinggi untuk terjangkit penyakit, termasuk HIV/AIDS.
Kegagalan  melindungi  anak-anak  mengancam  pembangunan  nasional  dan  memiliki  pengaruh negatif dan  akibat  harus dibayar, yang  akan terus terbawa sampai  anak-anak  tersebut  menjadi individu  yang  dewasa  nanti.











DAFTAR PUSTAKA

Arlina Permanasari dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, 1999.
Prof. KGPH. Haryomatram, S.H., Kushartoyo BS.,S.H.,M.H., (ed.), Pengantar Hukum Humaniter, Rajawali Pers, Jakarta, 2005.
Wahyu Wagiman, S.H., Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Seri Bahan bacaan Khusus HAM untuk Pengacara X, Jakarta, 2005.
UNICEF dan Inter-Parliamentary Union 
International Review of The Red Cross, Volume 87 Nomor 857 Maret 2005
www.unicef.org
www.ipu.org

search engine :
www.google.com

0 komentar: