Keistimewaan Yaman - Hadramaout

17.45 Unknown 2 Comments

 


The Beautifull Hadramaut

Hadramaut adalah suatu daerah yang terletak di Timur Tengah, tepatnya di kawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd

Hadramaut terkenal sebagai kotanya para habaib yang menyebarkan islam sampai ke indonesia, di kota ini terdapat pesantren-tua seperti Rubat tarim, dan darul mustofa yang telah mencetak ulama-ulama besar, selain itu kota ini juga telah menghidupkan wali2 besar di thariqa Alawiyyin..
Disamping itu semua, hadramaut juga memiliki keindahan dalam pemandangan alamnya..
Let's we see some picture, the beutifull of hadramaut...


















Keistemewaan Yaman:
Yaman adalah tanah yang penuh berkah, disana terlahir wali-wali besar dan juga buminya para cucu-cucu nabi yang sangat kita cintai.
Keistimewaan yaman ini sesuai dengan hadits Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dan bumi Yaman adalah salah satu bumi yang pernah didoakan oleh Baginda صلى الله عليه وآله وسلم:

اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك لنا في يمننا. قالوايارسول الله، وفي نجدنا. قال : اللهم بارك لنا في شامنا اللهم بارك لنا في يمننا. قالوا يارسول الله، وفي نجدنا. قال : هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان
Maksudnya: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Syam kami, Ya Allah Ya Tuhanku! berkatilah negeri Yaman kami”.
Mereka (para Sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Najd kami”. Baginda صلى الله عليه وآله وسلم (terus) berdoa: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Syam kami, Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Yaman kami”.
Mereka (para Sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Najd kami”. Baginda صلى الله عليه وآله وسلم bersabda: “Padanya (Najd) (berlaku) gempa bumi, fitnah dan tempat munculnya tanduk syaitan”
Siapakah yang tidak ingin untuk menjejakkan kaki kebumi yang pernah didoakan oleh penghulu segala anbiya dan mursalin, Sayyiduna Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم.


Dan dalam riwayat lain Baginda صلى الله عليه وآله وسلم bersabda: “Sesungguhnya aku menemukan ‘Nafas ar-Rahman’ dari arah Yaman.”
Yaman yang dikhabarkan oleh Baginda صلى الله عليه وآله وسلم mengenai sifat ahlinya, yaitu:

أتاكم أهل اليمن هم أرق أفئدة وألين قلوباً الإيمان يمان والحكمة يمانية
Maksudnya: “Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman. Mereka ini adalah orang-orang paling halus sanubarinya dan paling lembut hatinya.
Keimanan itu ada pada orang Yaman dan hikmah itu ada pada orang Yaman”.
Manakala di dalam riwayat yang lain disebutkan: “Keimanan itu ada pada orang Yaman, fiqih itu ada pada orang Yaman dan hikmah itu ada pada orang Yaman”.

Di dalam kitab al-Fadhoil al-Yaman, seorang ulama hadits iaitu al-Hafidz al-Quraisyi menyebutkan, Sayyiduna Abu Dzar al-Ghiffari رضي الله عنه meriwayatkan, Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda (maksudnya): “Jika timbul fitnah, hendaklah kalian (tinggal) di Yaman, kerana (tempat) itu diberkati”.
Dalam sebuah Hadits lain disebutkan: “Sebab, penduduknya bersifat pengasih, tanahnya diberkati, dan ibadah disana pahalanya besar”. Dan di dalam kitab Wasilatul Muta’abbidin, tercantum sebuah hadits dari Sayyidina Jabir bin Abdullah al-Anshari, Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda (maksudnya): “Sepertiga keberkahan dunia kembali ke Yaman. Barangsiapa (yang ingin) lari dari fitnah hendaklah ia lari ke Yaman”.

Demikianlah serba-sedikit tentang keistimewaan bumi Yaman sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat. qalbu Yaman itu adalah Hadramaut, manakala qalbu Hadramaut adalah kota Tarim.

2 komentar:

Alam Semesta Adalah Guru Yang Bijak

00.00 Unknown 2 Comments


Sebuah cerita penuh hikmah dari seorang sufi bernama Hasan. Tidak diketahui lebih jelas siapa Hasan yang dimaksud, tetapi semoga cerita ini bisa memberikan kita pemahaman untuk lebih memahami dan bertafakur akan lingkungan dan alam kita.

Tatkala seorang guru sufi besar Hasan, mendekati akhir masa hidupnya, seseorang bertanya kepadanya, “Hasan, siapakah gurumu?”

Dia menjawab, “Aku memiliki ribuan guru. Menyebut nama mereka satu-persatu akan memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun dan sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya. Tetapi ada tiga orang guru yang akan aku ceritakan kepadamu.

Pertama adalah seorang pencuri. Suatu saat aku tersesat di gurun pasir, dan ketika aku tiba di suatu desa, karena larut malam maka semua tempat telah tutup. Tetapi akhirnya aku menemukan seorang pemuda yang sedang melubangi dinding pada sebuah rumah. Aku bertanya kepadanya dimana aku bisa menginap dan dia berkata “Adalah sulit untuk mencarinya pada larut malam seperti ini, tetapi engkau bisa menginap bersamaku, jika engkau bisa menginap bersama seorang pencuri.”

Sungguh menakjubkan pemuda ini. Aku menetap bersamanya selama satu bulan! Dan setiap malam ia akan berkata kepadaku, “Sekarang aku akan pergi bekerja. Engkau beristirahatlah dan berdoa.” Ketika dia telah kembali aku bertanya “apakah engkau mendapatkan sesuatu?” dia menjawab, “Tidak malam ini. Tetapi besok aku akan mencobanya kembali, jika Tuhan berkehendak.” Dia tidak pernah patah semangat, dia selalu bahagia.

Ketika aku berkhalwat (mengasingkan diri) selama bertahun-tahun dan di akhir waktu tidak terjadi apapun, begitu banyak masa dimana aku begitu putus asa, begitu patah semangat, hingga akhirnya aku berniat untuk menghentikan semua omong kosong ini. Dan tiba-tiba aku teringat akan si pencuri yang selalu berkata pada malam hari. “Jika Tuhan berkehendak, besok akan terjadi.”

Guruku yang kedua adalah seekor anjing. Tatkala aku pergi ke sungai karena haus, seekor anjing mendekatiku dan ia juga kehausan. Pada saat ia melihat ke airnya dan ia melihat ada ajing lainnya disana “bayangannya sendiri”, dan ia pun ketakutan. Anjing itu kemudian menggonggong dan berlari menjauh. Tetapi karena begitu haus ia kembali lagi. Akhirnya, terlepas dari rasa takutnya, ia langsung melompat ke airnya, dan hilanglah bayangannya. Dan pada saat itulah aku menyadari sebuah pesan datang dari Tuhan: ketakutanmu hanyalah bayangan, ceburkan dirimu ke dalamnya dan bayangan rasa takutmu akan hilang.

Guruku yang ketiga adalah seorang anak kecil. Tatkala aku memasuki sebuah kota dan aku melihat seorang anak kecil membawa sebatang liling yang menyala. Dia sedang menuju mesjid untuk meletakkan lilinnya disana.

“Sekedar bercanda”, kataku kepadanya, “Apakah engkau sendiri yang menyalakan lilinnya?” Dia menjawab, “Ya tuan.” Kemudian aku bertanya kembali, “Ada suatu waktu dimana lilinnya belum menyala, lalu ada suatu waktu dimana lilinnya menyala. Bisakah engkau tunjukkan kepadaku darimana datangnya sumber cahaya pada lilinnya?

Anak kecil itu tertawa, lalu menghembuskan lilinnya, dan berkata, “Sekarang tuan telah melihat cahayanya pergi. Kemana ia perginya? Jelaskan kepadaku!”

Egoku remuk, seluruh pengetahuanku remuk. Pada saat itu aku menyadari kebodohanku sendiri. Sejak saat itu aku letakkan seluruh ilmu pengetahuanku.

Adalah benar bahwa aku tidak memiliki guru. Tetapi bukan berarti bahwa aku bukanlah seorang murid, aku menerima semua kehidupan sebagai guruku. Pembelajaranku sebagai seorang murid jauh lebih besar dibandingkan dengan dirimu. Aku mempercayai awan-awan, pohon-pohon. Seperti itulah aku belajar dari kehidupan. Aku tidak memiliki seorang guru karena aku memiliki jutaan guru yang aku pelajari dari berbagai sumber. Menjadi seorang murid adalah sebuah keharusan di jalan sufi. Apa maksud dari menjadi seorang murid? Maksud dari menjadi seorang murid adalah untuk belajar. Bersedia belajar atas apa yang diajarkan oleh kehidupan. Melalui seorang guru engkau akan memulai pembelajaranmu.

Sang guru adalah sebuah kolam dimana engkau bisa belajar bagaimana untuk berenang. Dan tatkala engkau telah mahir berenang, seluruh Samudera adalah milikmu.


SUFIROAD

2 komentar:

Puisi Cinta Rumi

23.49 Unknown 2 Comments




PERNYATAAN CINTA

Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,
Segera saja bagai duri bakarlah aku.

Meskipun aku diam tenang bagai ikan,
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku,
Tariklah misaiku ke dekat-Mu.
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?

Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu.
Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu,
Bagai unta memahah biak makanannya,
Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa.
Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara,
Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata.
Aku bagai benih di bawah tanah,
Aku menanti tanda musim semi.
ingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi,
Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi.

CINTA : LAUTAN TAK BERTEPI

 
Cinta adalah lautan tak bertepi
langit hanyalah serpihan buih belaka.
Ketahuilah langit berputar karena gelombang Cinta
Andai tak ada Cinta, Dunia akan membeku.
Bila bukan karena Cinta,
Bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan?
Bagaimana tumbuhan akan mengorbankan diri demi memperoleh ruh (hewani)?
Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri demi nafas (Ruh) yang menghamili Maryam?
Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju
Tidak dapat terbang serta mencari padang ilalang bagai belalang.
Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna
Dan naik ke atas laksana tunas.
Cita-cita mereka yang tak terdengar, sesungguhnya, adalah
lagu pujian Keagungan pada Tuhan.

PERIH CINTA


Perih Cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta:
Tiada penyakit yang dapat menyamai dukacita hati ini.
Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi.
Apakah dari jamur langit ataupun jamur bumi,
Cintalah yang membimbing kita ke Sana pada akhirnya.
Akal ’kan sia-sia bahkan menggelepar ’tuk menerangkan Cinta,
Bagai keledai dalam lumpur: Cinta adalah sang penerang Cinta itu sendiri.
Bukankah matahari yang menyatakan dirinya matahari?
Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.

TANPA CINTA, SEGALANYA TAK BERNILAI

 
Jika engkau bukan seorang pencinta,
maka jangan pandang hidupmu adalah hidup
Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan
dihitung Pada Hari Perhitungan nanti
Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta,
akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya.
Burung-burung Kesedaran telah turun dari langit
dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari
Mereka merupakan bintang-bintang di langit
agama yang dikirim dari langit ke bumi
Demikian pentingnya Penyatuan dengan Allah
dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya.
Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting
dalam zikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan
Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira
bagaikan sekumpulan kebahagiaan
Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan ?
Sang lili berbisik pada kuncup : “Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan.”
Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati
adalah melalui Kerendahan Hati.
Hingga dia akan sampai pada jawaban “YA” dalam pertanyaan :
“Bukankah Aku ini Rabbmu ?”

KEARIFAN CINTA

 
CINTA yang dibangkitkan
oleh khayalan yang salah
dan tidak pada tempatnya
bisa saja menghantarkannya
pada keadaan ekstasi.
Namun kenikmatan itu,
jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya
kekasih yang sadar akan hadirnya seseorang

by Jalaludin Rumi

2 komentar:

Rumi : Perkawinan dan Penyatuan

19.00 Unknown 2 Comments




Kebahagiaan adalah saat kita duduk bersama,
Dua sosok, dua wajah, yang menyatu …
kau dan aku.

Bunga-bunga ‘kan bermekaran dan
burung-burung ‘kan menembangkan kidungnya,
ketika kita memasuki taman … kau dan aku.

Bintang-bintang ‘kan muncul di langit ‘tuk menjadi saksi,
‘kan kita terangi mereka,
dengan cahaya purnama … kau dan aku.

Tiada lagi pemisahan ‘kau’ dan ‘aku’
nuansa kebahagiaan dalam penyatuan semata -
kegembiraan, kegairahan, tiada kesusahan … kau dan aku.

Burung-burung surga yang bersayap cemerlang,
‘kan menukik turun ‘tuk minum air yang manis -
air mata kebahagiaan kita … kau dan aku.

Betapa sebuah keajaiban, kita duduk disini,
walau di tepi dunia yang berseberangan,
kita tetap akan duduk bersama … kau dan aku.

Kita adalah satu sosok di dunia ini,
dan menjadi sosok yang lain dikemudian.

bagi kita ada surga yang abadi,
keceriaan yang tanpa akhir …. kau dan aku.
__________
Sumber: Diwan, S P, XXXVIII – terjemahan ke bahasa Inggris oleh Reynold A Nicholson – alih ke bahasa Indonesia oleh wiwin.wr
SUFIROAD

2 komentar:

Rumi : Menangislah..

18.52 Unknown 2 Comments

Menangislah.....
 
Karena tangisan awan, taman pun tersenyum
Karena tangisan bayi, air susu pun mengalir

Pada suatu hari ketika bayi tahu cara, ia berkata
“Aku akan menangis agar perawat penyayang tiba”

Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat Agung
Tidak akan berikan susu jika kamu tidak meraung

Tuhan berfirman, “Menangislah sebanyak-banyaknya”
Dengarkan, anugerah Tuhan kan curahkan air susunya

Tangisan awan dan panas mentari
Adalah tiang dunia, rajutlah keduanya

Jika tak ada panas mentari dan tangisan awan
Mana mungkin bakal kembang semua badan

Mana mungkin musim silih berganti
Jika kemilau dan tangis ini berhenti

Mentari yang membakar dan awan yang menangis
Itulah yamg membuat dunia segar dan manis

Biarkan matahari kecerdasanmu terus-menerus terbakar
Biarkan matamu, seperti awan, kemilau karena airmata yang keluar

Menangislah seperti rengekan anak kecil, jangan makan rotimu
karena roti jasmanimu akan mengeringkan air ruhanimu

Ketika tubuhmu rimbun dengan dedaunan yang subur
Siang malam batang rohmu melepaskannya seperti musim gugur

Kerimbunan tubuhmu adalah kerontangan rohmu
Segeralah, jatuhkan tubuhmu, tumbuhkan rohmu!

Pinjami Tuhan, pinjamkan kerimbunan tubuhmu
Tukarkan dengan taman yang merkah dalam jiwamu

Berikan pinjaman, kurangi makanan badanmu
Biar tampaklah muka yang dulu tak terlihat matamu

Ketika badan mengeluarkan semua kotoran keji
Tuhan mengisinya dengan mutiara dan kesturi

Orang itu telah menukar kotoran dengan kesucian
Dari “Dia sucikan kamu” ia peroleh kenikmatan

__________
dari buku Matsnawi, Buku Kelima 65-149

2 komentar:

Rumi : Hikmah Kesengsaraan

18.38 Unknown 2 Comments






Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat- loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan :
merintih terus-menerus tiada henti.

"Mengapa engkau letakkan api di bawahku ?
Engkau membeliku: Mengapa kini kausiksa aku seperti ini ?"
Sang isteri memukulnya dengan penyendok
"Sekarang," katanya "jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.

Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku ;
sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup; kesengsaraan bukanlah penghinaan
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air
minum itu demi api ini.

Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada kemurkaan-Nya, tujuannya bahwa dengan
kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.

Kasih-Nya yang mendahului kemurkaan-Nya itu
supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, "Sekarang
engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai."
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri
tak tersisa padamu lagi.

Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan
dalam mulut dan masuk ke kehidupan.

Jadilah gizi, energi, dan pikiran ! Engkau menjadi air bersusu : Kini
jadilah singa hutan !
Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-sifat Tuhan;
kembalilah kepada Sifat-sifat-Nya !
Engkau menjadi bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang ; Engkau 'kan
menjadi jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan: maka perintah, 'bunuhlah
aku, wahai para teman setia', adalah benar.

Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata- kata, 'Lihatlah, karena
dibunuh aku hidup,' adalah benar."

2 komentar:

Rumi: Bahkan Isa putra Maryam pun Menyingkir

18.33 Unknown 2 Comments




Inilah kisah tentang Isa putra Maryam,
ketika dia menghindar dari orang-orang dungu,
menjauh, hendak mengungsi,
ke puncak sebuah gunung.

Isa putra Maryam bergegas-cepat
mendaki sebuah gunung.
Sedemikian bergegas,
bagaikan dikejar seekor singa

Seseorang mengejarnya, dan menyapanya,
“Salam untukmu.
Tak kulihat sesuatu pun mengejarmu,
mengapa engkau begitu terburu-buru?”

Tetapi Beliau tetap berlari,
sedemikian terburu-buru,
tak mau berhenti untuk menjawab.

Sang penanya bersikeras,
terus dikejarnya Sang Nabi itu.
Lalu, dia bertanya lagi,
kali ini sampai harus berteriak:

“Demi Tuhan,” serunya,
“berhentilah sebentar!”
“Sungguh aku bingung,
apa yang membuatmu melarikan diri?”

“Wahai Nabi nan mulia dan pemurah,
Apa yang membuatmu bergegas-lari?
Tak ada singa mengejarmu.
Tiada pula ancaman atau wabah?”

Sang Nabi menjawab,
“Aku melarikan diri dari seorang yang tolol.
Pergilah! Sedang kukhawatirkan keselamatanku,
janganlah kau tahan aku lagi!”
Orang itu bertanya lagi,
“Tapi, bukankah engkau al-Masih,” [1]
bukankah engkau yang menyembuhkan
orang yang buta dan tuli?”

“Betul,” jawabnya.

Orang itu bertanya lagi,
“Bukankah engkau Sang Raja Spiritual?
Bukankah dalam dirimu tersimpan do'a
dan permohonan dari alam tak-nampak?”

“Bukankah jika kau berdo'a pada sesosok mayat,
dia langsung bangkit dengan trengginas,
bagaikan gesitnya seekor singa menggondol korbannya?”

“Betul,” jawabnya,
“Aku lah orang yang kau maksud.”

Orang itu masih penasaran,
“Wahai tuan yang tampan,
bukankah engkau yang menghidupkan burung dari tanah-liat?” [2]

“Betul,” jawabnya

“Wahai Ruh Murni,
bukankah engkau bisa menjadikan
apa pun yang kau kehendaki,
lalu apa yang engkau takuti?”

“Dengan keajaiban sebanyak itu,
siapa gerangan di ke dua alam
yang tak dengan suka-rela bersedia
menjadi budakmu?”

Isa putra Maryam berkata,
“Demi Allah yang Maha Suci,
yang Menciptakan jasmani,
dan Menciptakan jiwa,
dengan semua keunggulannya. [3]

Demi Dzat Dia yang Suci dan Sifat-sifat-Nya,
yang karenanya baju pelindung al-Jannah
tanggal sampai ke pinggangnya,
disebabkan takjub.

Aku bersaksi, bahwa do'a-do'a-ku itu,
serta asma-Nya yang Teragung, [4]
yang telah kuucapkan kepada mereka
yang buta dan tuli;
sangatlah manjur.

Jika kuucapkan dzikir itu ke sebuah gunung,
akan terbelah dia,
robek jubahnya sampai ke dasar.

Jika kuucapkan itu ke sesosok mayit,
maka hiduplah dia.
Kuucapkan itu kepada ketiadaan,
maka menjadilah dia sesuatu.
Tetapi ketika kulantunkan do'a itu,
ribuan kali, dengan penuh kasih-sayang
ke hati seorang tolol,
tidaklah itu menjadi obat. [5]

Malahan hati itu mengeras bagai batu,
dan tetap membatu;
lalu menjadi seperti pasir,
yang di atasnya tiada satu benih pun bisa tumbuh.”

Dengan heran orang itu bertanya lagi,
“Mengapa pada mujizat-mujizatmu,
do'a dengan asma Allah itu manjur,
sedangkan pada hati seorang tolol
itu tidak berpengaruh?
Bukankah itu suatu penyakit juga,
bahkan suatu musibah?”

Nabi Isa menjawab,
“Dungunya seorang tolol disebabkan
murka Allah yang teramat-sangat.
Musibah biasa seperti kebutaan
tidak bersumber dari murka Allah,
itu hanya ujian dan cobaan-Nya.”

Musibah berupa ujian dan cobaan,
pada akhirnya mengundang Rahmat-Nya.
Tapi kejahilan seorang tolol hanya membawa
pukulan dan luka.

Luka-berparut itu bersumber dari tutupan-Nya, [6]
tiada tangan penolong yang dapat mengobati.

Karenanya, menjauhlah dari orang tolol,
sebagaimana Isa telah menghindar;
persahabatan dengan orang jahil
telah banyak menimbulkan pertumpahan darah.

Udara menguapkan air perlahan-lahan,
orang tolol mencuri agamamu seperti itu.

Orang jahil mengganti kehangatanmu
dan membuatmu menggigil kedinginan.
Dibuatnya engkau dingin bagaikan batu.

Larinya Isa putra Maryam,
bukan karena ketakutan biasa seperti kita,
karena dia terlindungi dari hal-hal semacam itu.
Tetapi demi memberi kita suatu pelajaran. [7]

Walaupun seluruh alam membeku,
takkan itu membuat murung
Matahari yang bersinar terang. [8]

Catatan:
[1] “Ingatlah ketika al-Malaikat berkata: 'Yaa Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakanmu dengan kalimah dari-Nya, namanya al-Masih 'Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan diakhirat, dan termasuk yang didekatkan.” (QS [3]: 45)

[2] “Dan sebagai utusan bagi Bani Israil, 'Sesungguhnya aku telah datang kepadamu membawa sebuah tanda dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untukmu suatu bentuk burung dari tanah-liat, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan padamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu' … “ (QS [3]: 49)

[3] Karenanya al-Malaikat diminta bersujud (QS [2]: 34)

[4] Asma-Nya yang Teragung (ismul-azham).
Secara umum nama “Allah” dipandang sebagai Nama Tuhan yang terbesar, karena menghimpun 99 asmaul-husna nama-nama Tuhan lainnya yang tak-terhingga. Boleh jadi yang dimaksud disini adalah mengenai ajaran sementara Sufi bahwa Allah mengizinkan sedikit diantara hamba-Nya yang terpilih untuk mengetahui Nama-Nya yang paling agung (dan paling tersembunyi); yang dengan menggunakan asma itu mereka melakukan mujizat (bagi para Nabi) dan karamah (bagi para Wali).

Terkait dengan ini Rumi mengisahkan tentang seorang tolol yang meminta Isa putra Maryam untuk mengajari “asma tersembunyi yang dengan itu engkau menghidupkan orang yang sudah mati” (Matsnavi II: 142). Karena si tolol ini ingin membangkitkan setumpuk tulang yang dilihatnya dalam sebuah gua. Setelah menerima izin Allah, Isa putra Maryam mengucapkan asma itu pada setumpuk tulang tersebut; seekor singa segera bangkit dari situ dan memakan orang tolol tersebut.

Pada catatannya, Nicholson menjelaskan bahwa “asma tersembunyi” itu maksudnya Nama Tuhan yang Teragung (ismu'llahi'l-a'zhamu); secara umum dipahami sebagai “Allah”, dimana “Huwa” (Dia sebagai Dzaat) terliput di dalamnya. Pengetahuan akan asma ini merupakan sumber dari daya yang menghasilkan mujizat dan karamah di kalangan para Nabi dan Wali, dan dapat ditransmisikan kepada mereka yang terpilih.

[5] Nicholson mencatat salah satu ucapan di kalangan Muslim, yang merujuk kepada Nabi Isa, “Walaupun aku dapat melakukan keajaiban menghidupkan orang yang sudah mati, aku tak berdaya menyembuhkan si tolol.”

[6] “Katakanlah: Terangkanlah kepadaku, jika Allah mencabut pendengaranmu dan penglihatanmu, dan menutup qalb-mu, siapakah ilah selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu …” (QS [6]: 46)

[7] Pelajaran bagi manusia biasa sering disampaikan-Nya melalui kiprah para Nabi dan Wali yang sepenuhnya berserah-diri kepada-Nya. Dengan keakraban kepada Sang Pencipta dan melimpahnya pengetahuan Ilahiah yang dianugerahkan, para Nabi dan Wali adalah yang paling sering “hadir semata bersama-Nya saja” dalam shalat ataupun khalwat mereka. Justru pelajaran paling dasar ini yang sering terluput. Terpesona pada mujizat atau karamah, pelajaran malah sering terlewat. [8] Isa putra Maryam a.s. Kalimah-Nya (realisasi Sabda-Nya), "yang terkemuka di dunia dan di akhirat," seorang Nabi besar bagi kaum Muslim, yang dianugerahi "Matahari Sejati" dalam diri.

Sumber:
Rumi: Matsnavi III 2570 - 2599
Dari Mathnawi-ye Ma'nawi, terjemahan Ibrahim Gamard dari Bahasa Persia, dengan memeriksa terjemahan pertama ke Bahasa Inggris oleh Nicholson. --> ngrumi.blogspot.com

2 komentar:

Rumi : Cahaya dan Bayangan

17.55 Unknown 2 Comments




Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 2155

Tak mungkin suatu semesta terpisah
dari semesta-semesta lainnya.

Tidak mungkin basah terpisah dari air,
suatu langkah dari gerakan lainnya.

Takkan padam nyala api dengan api lainnya;
wahai anakku, hatiku berdarah karena cinta,
jangan bersihkan darahku dengan darah yang lain.

Hanya matahari yang mampu enyahkan bayangan.
Matahari memanjangkan dan memendekkan bayangan; [1]
carilah kuasa ini dari Sang Matahari.

Kalaupun ribuan tahun kau coba hindari,
pada akhirnya, kan kau dapati bayangan
senantiasa bersamamu.

Yang melayanimu adalah dosa-dosamu,
yang menolongmu adalah sakitmu,
nyala lilinmu adalah kegelapanmu,
pencarian dan jelajahmu dari jerat rantaimu.

Hal ini kan kujelaskan,
hanya jika telah kuat hatimu;
sebab jika remuk kristal-gelas hatimu,
takkan pernah ia pulih.

Mestilah engkau miliki, dan sandingkan
keduanya: cahaya dan kegelapan;
dengarkanlah anakku,
bersujudlah dalam-dalam di hadapan Pohon Taqwa. [2]

Ketika dari Pohon Rahmat-Nya,
Dia tumbuhkan untukmu sayap dan bulu,
jadilah sesenyap merpati,
jangan mendekur.

Ketika seekor katak masuk kedalam air,
sang ular tak dapat mendengarnya;
tapi saat ia menguak,
ular jadi tahu dimana ia berada.

Walaupun sang katak berusaha menipu,
dengan mendesis menirukan ular,
suara aslinya yang parau tetap terdengar.

Sang katak hanya dapat selamat
jika menutup mulut,
dan diam di sudut;
bahkan sebutir gandum pun,
jika ia bisa diam di sudut,
berubah jadi harta-karun.

Ketika sebutir gandum berubah menjadi harta-karun,
takkan ia lenyap ditelan bumi;
jiwa, yang bagai sebutir gandum,
berubah menjadi harta-karun,
ketika ia mencapai khazanah Hu.

Apakah kuakhiri kata-kata ini disini,
atau kuperas lagi,
Engkau lah, Sang Pemilik Sabda,
yang tentukan;
Wahai Rajaku,
siapalah hamba ini.

Catatan: [1] “Apakah tak kau perhatikan Rabb-mu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang, dan kalau Dia kehendaki niscaya dijadikan-Nya bayang-bayang itu tetap; lalu Kami jadikan matahari sebagai dalil atasnya.” (QS Al Furqaan [25]: 45)
[2] Pohon Taqwa, Pohon yang Baik, “Syajarah Thayyibah,” (QS Ibrahim [14]: 24).

Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 2155
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam Mystical Poems of Rumi 2,
University of Chicago Press, 1979.

2 komentar:

Rumi: Berpuasa: Menanti Perjamuan Nya

17.34 Unknown 2 Comments




Ada yang terasa manis
tersembunyi di balik laparnya lambung

Insan itu tak ubahnya sebatang seruling.
Ketika penuh isi lambung seruling,
tak ada desah: rendah atau tinggi yang dihembuskannya.

Jika lambung dan kepalamu terasa terbakar karena berpuasa,
apinya akan menghembuskan rintihan dari dadamu.

Melalui api itu akan terbakar seribu hijab dalam sekejap,
kau akan melesat naik seribu derajat dalam Jalan dan cita-citamu.

Jaga lah agar lambungmu kosong.
Merintih lah bagai sebatang seruling
dan sampaikan keperluanmu kepada Rabb.

Jaga lah agar lambungmu kosong
hingga dapat kau lantunkan bermacam rahasia layaknya sebatang seruling.

Jika lambungmu selalu penuh
Setan yang akan menanti di kebangkitanmu dan bukannya Akal Sejati-mu,
di rumah berhala dan bukannya di Ka'bah.

Ketika engkau berpuasa,
akhlak yang baik berkumpul di sekitarmu,
bagaikan pembantu, budak dan penjaga.

Teruskan lah berpuasa,
karena ia adalah segel Sulaiman.
Jangan serahkan segel itu kepada Setan,
yang dapat membuat kerajaanmu kacau.

Dan jika sempat kerajaan dan bala-tentaramu tinggalkan dirimu,
mereka akan kembali,
jika kau tegakkan lagi panjimu dengan berpuasa.

Hidangan dari langit, al-Maidah,
telah tiba bagi mereka yang berpuasa.
Isa ibn Maryam telah menurunkannya dengan do'anya.

Tunggu lah Meja Perjamuan, al-Maidah,
dari Yang Maha Pemurah dengan puasamu:
sungguh tak pantas membandingkan hidangan dari langit dengan sederhananya sup sayuranmu.

Catatan:
"Al-Maidah" nama surat ke 5 dari al-Qur'an Suci, menyampaikan rujukan terkait bahasan di atas, pada ayat-ayat:
(112) (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan maidah dari langit kepada kami?". Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".

(113) Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".

(114) Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu maidah dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".

(115) Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia".

Sumber:
Rumi: Divan-i Syams ghazal 1739.
dari terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick
dalam "The Sufi Path of Love"
SUNY Press, Albany, 1983.
dan dari terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam "Mystical Poems of Rumi 2"
The University of Chicago Press, 1991.

Sumber: Ngrumi

2 komentar:

Al-Ghazali dan Tasawuf

01.51 Unknown 2 Comments

 
 
Imam Ghazali : “Ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua maslah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.

Al-Ghazali dan Tasawuf

Bahwa Al-Ghazali adalah ulama’ besar yang sanggup menyusun kompromi antara syari’at dan hakikat atau tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’I ataupun lebih-lebih kalangan sufi.

Berbagai macam buku yang membahas tentang sepak terjang Al-Ghazali yang tumbuh kembang pada masa dimana banyak muncul mazhab dan goolngan. Ketika itu, beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi. Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian;

Dengan demikian tidak ayal al-Ghazali merasakan dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat dahsyat dan dalam. Dia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira” yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu. Dia tidak merasa takut terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang.

Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia. Perkembangan yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari’ah bisa diperkecil. Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks (pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini diterangkan sebagai berikut;

“Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.

Tingkat kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil.

Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.

Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin.(ihya’ ‘ulumuddin, III, hal. 15).

Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum Batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf yang menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.”

Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya. Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu yang didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”

Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali mengatakan, “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajtar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.”

Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan firi dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Al-Ghazalai mengatakan, “Adapu manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.”

Di dalam kitab-kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Ghazali menulis, “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah jalan yang sangat sukar; jarang sekali ada manusai yang sanggup melakukannya”

Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi dipakasa untuk meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan, “Penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit”

“Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal, akupun mau tak mau harus kembali kepada Allah dalam keadaan yang terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi. Allah-yang menjawab doa yang terpaksa jika berdoa-mengabulkan niatku, sehinngga kini terasa mudah bagiku meninggalkan pangkat, harta, anak, dan teman.”

Sesudah mengalami masa-masa keraguan yang cukup rumit, baik dalam filsafat ataupun penggunaannya dalam Ilmu Kalam, akhirnya justru mendapatkan kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam Sufisme, yakni mempercayai kemutlakan dalil kasyfi.[12] Hal ini merupakan keunikan-keunikan atau keanehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme. Karena memang beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang luhur. Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang digambarkannya:

Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT, secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya, dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling suci. Bahkan seandainya para ahli pikir dan para filosof yang bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini, cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31).

Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan Ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah Tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.

Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkrompromikan tasawuf dengan syari’at? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromokan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukungnya. Persoalan inilah yang telah cukup lama diangan-angankan oleh para sufi sendiri, bagaimana cara menjembatani dua system yang tumbuh berdampingan yang sering memancing konflik yang cukup tajam.

Adapun fungsi hakikat itu sendiri terhadap syari’at adalah sebagaimana digamabarkan Imam Al-Qusyairi di dalam risalahnya yaitu;

“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat hakikat adalah tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi Dia, hakikat meyaksikannya pada Dia. Syari’at melakukan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuannya, kadar-Nya, baik yang tersembunyi maupun yang di luar. (Risakah Qusyairiyah. Hal, 46)

Disini, Al-Ghazali berupaya membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di atas koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menolak paham Hulul dan Ittihad sebagaimana yang di propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya. Al-Ghazali hanya menerima tasawuf Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal pada sumber Islam. Semuanya itu harus mempunyai landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Satu hal mencolok yang dilakukan Al-Ghazali pada tasawuf adalah upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang), Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang peraktis. Ia mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini nampak jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat) dan akhlaq yang menyelamatkan (al-Munjiyat). “Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang tercela (madzmum) yang dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq yang tercela ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.

Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi syari’at. Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”

Bahkan dengan terang-terangan dia menolak dan melawan mereka deangan berbagai alasan dan dalil. Secara terus terang menyatakan seseorang yang telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali.[21]Al-Ghazali mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh kaum sufi itu boleh jadi masuk ke dalam kategori imajinasi (tawahhun) karena mereka kesulitan dengan kata-kata tentang kebersatuan yang telah mereka capai. Atau, boleh jadi, penggunaan istilah-istilah itu masuk kerangka pengembangan dan perluasan istilah yang sesuai dengan tradisi sufi dan para penyair. Mereka biasanya meminjam istilah yang paling mudah dipahami, seperti kata penyair berikut; “Aku adalah yang turun, dan yang turun adalah aku juga. Kami adalah ruh yang bersemayam dalam satu badan”.

Lebih jauh, Al-Ghazali mengambil kesimpulan secara umum denga memberikan catatan penting yang menyatakan bahwa kebersatuan dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi. Dan Al-Ghazali tidak membahas lebih lanjut ihwal makrifat intuitif (al-ma’rifah adz-dzawiqiyyah), yang merupakan konsep utama tasawufnya. Sebab, Al-Ghazali, sebagaimana di katakana oleh Ibnu Thufail, telah terasah dengan berbagai ilmu dan terpoles dengan ma’rifat. Karena itu, pembahasan Al-Ghazali tentang konsep ma’rifat senantiasa berada dalam batas-batas agama. Ia tidak pernah membiarkan dirinya hanyut dalam ucapan orang lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf menurut Al-Ghazali adalah mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, menganggap rendah segala sesuatu selain Allah, dan akibat dari sikap itu mempengaruhi pekerjaan hati dan anggota badan.

Al-Ghazali dan Syari’at
 
Sebagaimana dipaparkan di atas tentang kehidupan Al-Ghazali bahwa, kehidupannya diliputi gelombang pemikiran yang sangat dahsyat sehingga membuat Al-Ghazali terombang-ambing dengan keyakinannya, maka dengangan demikian terlontarlah kata-katanya yang bijak bahwa, “hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi harus dipakasa untuk meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan, “penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari faktor-faktor yang membu atnya sakit”

Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah, yang mengharuskan percaya kepada iman-iman yang dipandang ma’sum (terpelihara dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid’ah

Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.

Tasawuf dan Syari’at

 
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety). “Keadaan Mabuk” dikuasai oleh persaan kehadiran Tuhan: para sufi melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan Tuahn yang mencintai. “keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi oleh rasa takut dan hormat (haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh, derta tidak perduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia.

Para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari’at dan menyaatkan terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yagn kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi yang, dalam ungkapan Ibn al-‘Arabi, “melkihat dengan kedua mata” selalu memelihara akal dan kasyf (penyingkakpan intuitif) dalam keseimbangan yang sempurna dengan tetap mengakui hak-hak “yang tidak-mabuk” dan “yang-mabuk.”

Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syari’at tidak dapkat diterima apabila ditujukan kepada tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”. Pasalnya, tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak dapat dipisahkan karena bagi para penganutnya syri’at adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf.

Dalam suatu bagian Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan, “jika engkau betanya apa itu tasawuf? Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syri’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan disikuti oleh siapa saja yang mengigninkan keberhasialan tasawuf. Sebagai mana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran yang membela tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”berulangkali menekankan bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at.

Iskam sebagai agama yang sngat menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum Tuahan) dan tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Apabila syari’ata adalah dimensi eksoteris Islam, yang kebih banyak berurusan aspek lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek bathiniyah. Pentingnya menjaga keatuan syari’at dan tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu dialam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahitaiyah dan bathiniyah.

Islam adalah suatu Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan Syari’at Islam. Syari’at Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf.
Tasawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid(aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan.
Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma’bud(Tuhan). Soal ini tidak dipelajari di dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dibicarakan di dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.

Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubngan manusia dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqh selain membahas tentang rukun Islam ia juga membahas tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan-persoalan ini erat hubungannya dengan maslah pokok yang disebutkan Nabi diatas(Islam, Iman, Ihsan). Sebagai contoh adalah tentang penyakit dengki(hasad). Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal seprti api memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan)dapat dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesame manusia juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang bertumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf denga rangkaian syari’at Islam.

Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah dan RasulNya.

Sungguh sudah banyak penganut Tasawuf yang tergelincir di bidang ini. Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan. Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya dari para wali. Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru lebih dahulu. Dan bayak macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber dari akal fikir manusia.

Mereka tidak melakukan segala I’tiqad-I’tiqad kafir dan musyrik ini kurang mendalami jiwa Tauhid Islam yang murni/yang belum bercampur dengan filsafat pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk mendalami tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatagkan pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului oleh pengertian tentang Tauhid.

Demikianlah hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak aka nada kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada Tasawuf.

Kodifikasi TASAWUF dengan SYARI’AT dalam Kacamata AL-GHAZALI

Imam Al-Ghazali (w, 111 M.) adalah ulama’ ahli syari’at penganut mazhab syafi’I dalam hukum fiqh, dan seorang teolog pendukung Asy’ari yang sangat kritis, namun sesudah lamjut usia ia mulai meragukan dalail akal yang menjadi tiang tegaknya mazhab asy’ariah di samping dalil wahyu. Sesudah mengalami keraguan terhadap kemampuan akal baik dalam filsafat ataupun penggunaannya dalam ilmu kalam, akhirnya justru mendapat kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam sufisme, mempercayai kemutlakan dalail kasyf. Hal ini merupakan keunikan atau keanaehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme. Karena memang beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang luhur. Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang digambarkannya:

Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT, secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya, dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling suci. Bahkan seandainya para ahli piker dan para filosof yang bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini, cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31).

Kutipan di atas menunjukkan betapa tingginya nilai tasawuf di mata al-Ghazali. Dan memang hingga masa itu tasawuf masih dikelola oleh golongan elit (khawas), belum merakyat. Jadi kualitasnya masih bias terkendali. Hanya timbulnya kecenserungan kea rah phanteis atau union-mistik dan penyimpangan terhadap syari’at yang meulai memperihatinkan dan menimbulkan ketegangan. Hal ini tercermin dalam judul risalah otobiografi al-Ghazali al-Munqidz min ad-Dlalal, yang bias di terjemahkan pembebas dari kesesatan. Dari segi sufuisme buku tersebut mengkritik kesesatan peafsiran para penganut paham hulul, ittihad, dan wushul, dengan pernyataannya:

“ringkasnya, penghayatn makrifat itu memuncak sampai yang demikian dekatnya pada Allah sehingga ada segolongan mengatakan hulul, segolongan lagi mengatakan ittihad, dan ada pula yang mengatakan wushul, kesemua ini salah. Dan telah kujelaskan segi kesalahan mereka dalam maqshudu al-Aqsha(Tujuan yang Tinggi).Al-Munqidz min al-Dlala, hal. 32”

Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah, yang mengharuskan percaya kepada imam-imam yang dipandang ma’sum (terpelihara dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid’ah. .

Sedang mengenai masalah ajaran-ajaran dalam sufisme, dalam munqidz telah ditunjikkan paham-paham yang sesat. Agar masyarakat tidak tersesat kepaham neka-neka al-Ghazali mencoba membatasi penghayatan makrifat dalam sufisme agar dimoderasi hanhya sampai ke penghayatan yang amat dekat dengan Tuhan, tidak terjerumus ke paham hulul, ittihad, dan whusul. Dengan demikian berarti al-Ghazali menolak penghayatan makrifat kea rah puncak, yaitu menolak fana’ al-fana’. Jadi dalam mengamalkan tasawuf dibatasi dan dimoderasi hanya kepada penghayatan fana’ (ecstasy) yang tengah-tengah, yang masih menyadari adanya perbedaan yang fundamental antara manusia dan Tuhan yang transenden, mengatasi alam semesta. Yaitu hanya samkpai penghayatan yang dekat (qurb) dengan Tuhan, sehingga kesadaran diri sebagai yang sedang makrifat tetap berbeda dengan Tuhan yang dimakrifatinya.

Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[40] Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.?

Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri mengembangkan ajaran mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di kemukakan oleh para ulama’ sufi. Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya baru bisa merumuskan harapan sebagai berikut:

“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari’at dating dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar. (Risalah Qusyairiyah, hal. 46)”

Walaupun cita untuik menjalin keselarasan pengamalan taswuf dengan syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’ sufi sebelumnya, namun baru al-Ghazali yang secara konkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya. Konsep al-Ghazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengalaman sufisme denga syari’at disusun dalam karyanya yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.

Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya p[ara penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.

Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, “mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi syari’at. Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”
 
M. Idsris Yusuf dan Hendriyanto al-Mandari

Sumber: www.sufiroad.blogspot.com

2 komentar:

Mawlana Shaykh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani

01.03 Unknown 2 Comments

Perjalanan Spiritual Mawlana Shaykh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani
Dari buku : The Naqshbandi Sufi Way, History
Oleh : Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, 1995


Sulthanul Awliya Maulana Syeikh Nazim Adil Al Qubrusi Al Haqqani
Beliau dilahirkan di Larnaca, Siprus, pada hari Minggu, tanggal 23 April 1922 – atau 26 Shaban 1340 H. Dari sisi ayah, beliau adalah keturunan Syeikh Abdul Qadir Jailani, pendiri Thariqat Qadiriah. Dari sisi ibunya, beliau adalah keturunan Maulana Jalaluddin Rumi, pendiri Thariqat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Hassan-Hussein (as) cucu Nabi Muhammad saw. Selama masa kanak-kanak di Siprus, beliau selalu duduk bersama kakeknya, salah seorang syaikh Thariqat Qadiriah untuk belajar spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda luar biasa telah nampak pada Syaikh Nazim kecil, tingkah lakunya sempurna. Tidak pernah berselisih dengan siapapun, beliau selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatih beliau pada jalan spiritual.

Ketika remaja, Shaykh Nazim sangat diperhitungkan karena tingkat spiritualnya yang tinggi. Setiap orang di Larnaca mengenal beliau, karena dengan umur yang masih amat muda mampu menasihati orang-orang, meramal masa depan dan dengan spontan membukanya. Sejak umur 5 tahun sering ibundanya mencarinya, dan didapati beliau sedang berada didalam masjid atau di makam Umm Hiram, salah satu sahabat Nabi Muhammad (saw) yang berada di sebelah masjid. Banyak sekali turis mendatangi makam tersebut karena tertarik akan pemandangan sebuah batu yang tergantung diatas makam itu.

Ketika sang ibu mengajaknya pulang, beliau mengatakan :
”Biarkan aku disini dengan Umm Hiram, beliau adalah leluhur kita.”

Biasanya terlihat Syaikh Nazim sedang berbicara, mendengarkan dan menjawab seperti berdialog dengannya. Bila ada yang mengusiknya, beliau katakan :
“Biarkan aku berdialog dengan nenekku yang ada di makam ini.”

Ayahnya mengirim beliau ke sekolah umum pada siang hari dan sorenya belajar ilmu-ilmu agama. Beliau seorang yang jenius diantara teman-temannya. Setelah tamat sekolah (setara SMU) Syaikh Nazim menghabiskan malam harinya untuk mempelajari Thariqat Mawlawiyyah dan Qadiriah. Beliau mempelajari ilmu Shariah, Fiqih, ilmu tradisi, ilmu logika dan Tafsir Qur’an. Beliau mampu memberikan penjelasan hukum tentang masalah-masalah Islam secara luas. Beliau juga mampu berbicara bagi orang-orang dari segala tingkatan spiritual. Beliau di beri kemampuan untuk menjelaskan masalah-masalah yang sulit dalam bahasa yang jelas dan mudah.

Setelah tamat SMA di Siprus, Syaikh Nazim pindah ke Istambul pada tahun 1359 H / 1940, dimana kedua saudara laki-laki dan seorang saudara perempuannya tinggal. Beliau belajar tehnik kimia di Universitas Istambul, di daerah Bayazid. Pada saat yang sama beliau memperdalam hukum Islam dan bahasa Arab pada guru beliau, Syaikh Jamaluddin al-Lasuni, yang meninggal pada tahun 1375 H / 1955 M. Shaykh Nazim meraih gelar sarjana pada tehnik kimia dengan hasil memuaskan dibanding teman-temannya. Ketika Professor di Universitasnya memberi saran agar melakukan penelitian, beliau katakan, ”Saya tidak tertarik dengan ilmu modern. Hati saya selalu tertarik pada ilmu-ilmu spiritual.”

Selama tahun pertama di Istambul, beliau bertemu dengan guru spiritual pertamanya, Shaykh Sulayman Arzurumi, seorang syaikh dari Thariqat Naqsybandi yang meninggal pada tahun 1368 H / 1948 M. Sambil kuliah Syaikh Nazim belajar pada beliau sebagai tambahan dari ilmu thariqat yang telah dimilikinya yaitu Mawlawiyyah dan Qadiriah. Biasanya beliau akan terlihat di masjid Sultan Ahmad, bertafakur sepanjang malam. Syaikh Nazim menuturkan :

"Disana aku menerima barakah dan kedamaian hati yang luar biasa. Aku shalat subuh bersama kedua guruku, Shaykh Sulayman Arzurumi dan shaykh Jamaluddin al-Lasuni. Mereka mengajariku dan meletakkan ilmu spiritual dalam hatiku. Aku mendapat banyak penglihatan spiritual agar pergi menuju Damaskus, tapi hal itu belum diizinkan. Sering aku melihat Nabi Muhammad memanggilku menuju ke hadapannya. Ada hasrat yang mendalam agar aku meninggalkan segalanya dan untuk pindah menuju kota suci Nabi".

Suatu hari ketika hasrat hati ini semakin kuat, aku diberi “penglihatan” itu. Guruku, Shaykh Sulayman Arzurumi datang dan menepuk pundakku sambil mengatakan, ’Sekarang sudah turun izin. Rahasia-rahasia, amanat, dan ajaran spiritualmu bukan ada padaku. Aku menahanmu karena amanat sampai engkau siap bertemu dengan guru sejatimu yang juga guruku sendiri yaitu Syaikh Abdullah ad-Daghestani. Beliau pemegang kunci-kuncimu. Temui beliau di Damaskus. Izin ini datang dariku dan berasal dari Nabi.’ (Shaykh Sulayman Arzurumi adalah salah satu dari 313 awliya Thariqat Naqsybandi yang mewakili 313 utusan.)

Bayangan itu pun berakhir. Aku mencari guruku untuk menceritakan pengalaman itu. Dua jam kemudian aku melihat syaikh menuju masjid, aku berlari menghampirinya. Beliau membuka kedua tangannya dan berkata, ”Anakku, bahagiakah engkau dengan penglihatan itu?” Aku sadar bahwa beliau juga telah mengetahui segalanya. “Jangan tunggu lagi, segera berangkat ke Damaskus.” Beliau bahkan tidak memberiku alamat atau informasi lain, kecuali sebuah nama: Syaikh Abdullah ad-Daghestani di Damaskus.

Dari Istambul ke Aleppo aku naik kereta. Selama perjalanan aku masuk dari satu masjid ke masjid lain, shalat, duduk dengan para ulama dan menghabiskan waktu untuk ibadah dan tafakur.

Kemudian aku menuju Hama, kota kuno mirip Aleppo. Aku berusaha untuk langsung menuju Damaskus, namun mustahil. Perancis yang saat itu menduduki Damaskus sedang mempersiapkan diri akan serangan pihak Inggris. Jadi aku pergi ke Homs dimana ada makam Khalid bin Walid, sahabat Nabi. Ketika aku memasuki masjid untuk shalat, seorang pelayan mendatangiku dan mengatakan :
‘Aku bermimpi tadi malam, Nabi mendatangiku. Beliau mengatakan : “Salah satu cucuku akan datang esok hari. Jagalah dia demi aku.” Beliau memberi petunjuk bagaimana ciri-ciri cucu beliau yang sekarang aku lihat semuanya ada pada dirimu.’

Dia memberiku sebuah kamar didalam masjid itu dimana aku menetap selama setahun. Aku tidak pernah keluar kecuali untuk shalat dan duduk ditemani 2 ulama Homs yang mumpuni, mereka mengajar bacaan Al-Qur’an, tafsir, fiqih dan tradisi-tradisi Islam. Mereka adalah Shaykh Muhammad Ali Uyun as-Sud dan Shaykh Abdul Aziz Uyun as-Sud. Disana, aku juga mengikuti pelajaran-pelajaran dari dua syaikh Naqsybandi, Shaykh Abdul Jalil Murad dan Shaykh Said as-Suba’i. Hatiku semakin menggebu untuk segera tiba di Damaskus, namun karena perang masih berkecamuk maka kuputuskan untuk menuju Tripoli di Lebanon, dari sana menuju Beirut lalu ke Damaskus lewat jalur yang lebih aman.

Pada tahun 1364 H / 1944 M, Syaikh Nazim pergi ke Tripoli dengan bis. Bis ini membawa beliau sampai ke pelabuhan yang masih asing, dan tidak seorang pun dikenalnya. Ketika berjalan mengelilingi pelabuhan, beliau melihat seseorang dari arah berlawanan. Orang itu adalah Mufti Tripoli yang bernama Shaykh Munir al-Malek. Beliau juga merupakan shaykh atas semua thariqat sufi di kota itu.

“Apakah kamu Shaykh Nazim? aku bermimpi dimana Nabi mengatakan, ‘Salah satu cucuku tiba di Tripoli.’ Beliau tunjukkan gambaran sosokmu dan menyuruhku mencarimu di kawasan ini. Nabi menyuruhku agar menjagamu.“

Syaikh Nazim memaparkan hal ini :
Aku tinggal dengan Syaikh Munir al-Malek selama sebulan. Beliau mengatur perjalananku menuju Homs untuk kemudian dilanjutkan ke Damaskus. Aku tiba di Damaskus pada hari Jum’at tahun 1365 H / 1945 awal tahun Hijriah. Aku tahu bahwa Syaikh Abdullah ad-Daghestani tinggal di wilayah Hayy al-Maidan, dekat dengan makam Bilal al-Habashi dan banyak keturunan dari keluarga Nabi. Sebuah daerah kuno yang penuh dengan monumen-monumen bersejarah.

Akupun tidak tahu yang mana rumah Syaikh Abdullah. Sebuah penglihatan datang ketika aku berdiri di pinggir jalan; Syaikh keluar dari rumahnya dan memanggilku untuk masuk. Penglihatan itu segera lenyap, dan tetap tak kulihat siapa pun di jalanan. Keadaan tampak senyap akibat invasi orang-orang Perancis dan Inggris. Penduduk ketakutan dan bersembunyi didalam rumah masing-masing. Aku sendirian dan mulai berkontemplasi didalam hati untuk mengetahui yang mana rumah Syaikh Abdullah. Sekilas gambaran itu muncul, sebuah rumah dengan sebuah pintu yang spesifik. Aku berusaha mencari sampai akhirnya ketemu. Ketika akan kuketuk, syaikh membuka pintu rumah menyambutku, ”Selamat datang anakku, Nazim Effendi.”

Penampilannya yang tidak biasa segera menarik hatiku. Tidak pernah aku bertemu dengan syaikh yang seperti itu sebelumnya. Cahaya terpancar dari wajah dan keningnya. Kehangatan yang berasal dari dalam hatinya dan dari senyuman di wajahnya. Beliau mengajakku ke lantai atas dengan menaiki tangga didalam kamar beliau, “Kami sudah menunggumu.”

Didalam hati, aku sangat bahagia bersamanya, namun masih ada hasrat untuk mengunjungi kota Nabi. Aku bertanya pada beliau, ”Apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab, ”Besok akan aku beri jawaban, sekarang waktumu untuk istirahat!” Beliau menawari makan malam lalu kami shalat Isya berjamaah, kemudian tidur.

Pagi-pagi sekali beliau membangunkan aku untuk melakukan shalat. Tidak pernah aku merasakan kekuatan luar biasa seperti cara beliau beribadah. Aku merasa sedang berada dihadapan Ilahi dan hatiku semakin tertarik akan beliau. Kembali sebuah ‘penglihatan’ terlintas. Aku melihat diriku sendiri menaiki sebuah tangga dari tempat kami shalat menuju ke Bayt al-Makmur, Ka’bah Surgawi, setingkat demi setingkat. Setiap tingkat yang kulalui adalah maqam yang diberikan syaikh kepadaku. Di setiap maqam aku menerima pengetahuan didalam hatiku yang sebelumnya tidak pernah aku dengar atau pun aku pelajari. Kata-kata, frase, kalimat diletakkan sekaligus dalam cara yang indah, di alirkan menuju ke dalam hatiku, dari maqam ke maqam sampai terangkat menuju Bayt al-Makmur. Disana aku melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) Nabi-nabi berbaris melakukan shalat, dan Nabi Muhammad sebagai imamnya.

Aku melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) sahabat Nabi yang berbaris dibelakang beliau. Aku melihat 7007 (tujuh ribu tujuh) awliya thariqat Naqsybandi berdiri dibelakang mereka sedang shalat. Aku juga melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) awliya thariqat lain berbaris melaksanakan shalat.

Sebuah tempat sengaja disisakan untuk dua orang tepat disebelah Abu Bakr as-Siddiq. Grandsyaikh mengajakku menuju tempat itu dan kami pun shalat subuh. Suatu pengalaman beribadah yang sangat indah. Ketika Nabi memimpin shalat itu, bacaan yang dikumandangkan beliau sungguh syahdu. Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan pengalaman itu, sesuatu yang Ilahiah.

Begitu shalat selesai, penglihatan itupun berakhir, tepat ketika syaikh menyuruhku untuk melakukan adhan subuh. Beliau shalat didepan dan aku dibelakangnya. Dari arah luar aku mendengar suara peperangan antar 2 pihak pasukan tentara. Grandsyaikh segera mem-baiat-ku didalam thariqat Naqsybandi, kata beliau : ‘Anakku, kami punya kekuatan untuk bisa membuat seorang murid mencapai maqamnya dalam waktu sedetik saja.’ Sambil melihat ke arah hatiku, kedua mata beliau berubah dari kuning menjadi merah, lalu berubah putih, kemudian hijau dan akhirnya hitam. Perubahan warna itu berhubungan dengan ilmu-ilmu yang di pancarkan pada hatiku.

Pertama adalah warna kuning yang menunjukkan maqam ‘qalbu’. Beliau alirkan segala jenis pengetahuan eksternal yang diperlukan untuk melaksanakan kehidupan manusia sehari-hari.

Yang kedua adalah maqam ‘rahasia/Sirr’, pengetahuan dari seluruh 40 thariqat yang berasal dari Ali bin Abi Thalib. Aku rasakan diriku menjadi pakar dalam seluruh thariqat-thariqat ini. Mata beliau berubah warna menjadi merah saat hal ini terjadi. Tahap yang ketiga adalah tingkatan ‘Sirr as Sirr’ yang hanya diizinkan bagi para syaikh Naqsybandi dengan imamnya Abu Bakr. Saat itu mata grandsyaikh telah berubah menjadi putih.

Maqam keempat yaitu ‘pengetahuan spiritual tersembunyi / khafa’ dimana saat itu mata beliau berubah warna menjadi hijau. Terakhir adalah tahap akhfa, maqam yang paling rahasia dimana tak ada apapun yang nampak disana. Mata beliau berubah menjadi hitam, dan disinilah beliau mengantarku menuju Hadirat Allah. Kemudian Grandsyaikh mengembalikan aku lagi pada eksistensiku semula.

Rasa cintaku pada Grandsyaikh begitu meluap, sehingga tidak terbayangkan bila harus berjauhan dengannya. Aku tak menginginkan apapun kecuali agar bisa berdekatan dan melayani beliau selamanya. Namun perasaan damai itu terasa disambar oleh petir, badai dan tornado. Ujian yang sungguh luar biasa dan membuatku putus asa ketika kemudian beliau mengatakan :

‘Anakku, orang-orangmu membutuhkanmu. Aku telah cukup memberimu untuk saat ini. Pergilah ke Siprus hari ini juga.’

Aku jalani satu setengah tahun agar bisa bertemu dengan beliau. Aku lewatkan satu malam bersama beliau. Kini beliau memintaku untuk kembali ke Siprus, sebuah tempat yang telah kutinggalkan selama 5 tahun. Perintah yang amat mengerikan bagiku, namun dalam thariqat sufi, seorang murid harus menyerah pada kehendak syaikh-nya. Setelah mencium tangan dan kaki beliau sambil meminta izin, aku mencoba menemukan jalan menuju Siprus.

Perang Dunia II akan segera berakhir dan sama sekali tidak ada sarana transportasi. Ketika aku sedang memikirkan jalan keluarnya, seseorang menghampiriku, ‘Syaikh, anda butuh tumpangan?’
‘Ya ! kemana tujuan anda?’ aku balik bertanya.
‘Ke Tripoli.’ jawabnya. Kemudian dengan truknya, setelah 2 hari perjalanan, kami pun sampai di Tripoli. ‘Antarkan aku sampai pelabuhan.’ kataku
‘Buat apa?’
‘Agar bisa naik kapal ke Siprus.’
‘Bagaimana bisa? tak ada yang bepergian lewat laut saat perang seperti ini.’
‘Tidak apa-apa. Antarkan aku kesana.’

Ketika dia menurunkanku di pelabuhan, aku kembali terkejut ketika Syaikh Munir al-Malek menghampiriku. Kata beliau : ‘Cinta macam apakah yang dimiliki kakekmu padamu? Nabi datang lagi lewat mimpiku dan mengatakan – ‘Cucuku, si Nazim akan segera tiba, jagalah dia.’

Aku tinggal bersama Syaikh Munir selama 3 hari. Aku memintanya untuk mengatur perjalananku sampai ke Siprus. Beliau telah berusaha, namun karena keadaan perang dan minimnya bahan bakar maka hal itu sangat mustahil. Akhirnya hanya ada sebuah perahu. ‘Kamu bisa pergi, tapi amat berbahaya!’ kata Syaikh Munir.
‘Tapi aku harus pergi, ini adalah perintah syaikh-ku.’

Syaikh Munir membayar sejumlah besar uang pada pemilik perahu untuk membawaku. Kami berlayar selama 7 hari agar sampai ke Siprus, yang normalnya hanya memakan waktu 2 hari saja dengan perahu motor. Segera setelah sampai di daratan Siprus, penglihatan spiritual terlintas dalam hatiku.

Aku merasa Grandsyaikh Abdullah ad-Daghestani mengatakan padaku, ‘Oh anakku, tidak seorang pun mampu menahanmu membawa amanatku. Engkau telah banyak mendengar dan menerima. Mulai detik ini aku akan selalu dapat terlihat olehmu. Setiap engkau arahkan hatimu padaku, aku akan selalu berada disana. Segala pertanyaan yang engkau ajukan akan dijawab langsung, berasal dari hadirat Ilahi. Segala tingkatan spiritual yang ingin engkau capai, akan dianugerahkan kepadamu karena penyerahan totalmu. Semua awliya puas denganmu, Nabi pun bahagia akan dirimu.’

Ketika hal itu terjadi, aku merasakan syaikh ada disisiku dan sejak saat itu beliau tidak pernah meninggalkanku. Beliau selalu berada di sampingku.

Syaikh Nazim mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus. Banyak murid-murid yang mendatangi beliau dan menerima thariqat Naqsybandi. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun juga dilarang disana. Bahkan mengumandangkan adhan pun tidak diperbolehkan.

Langkah beliau yang pertama adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan adhan disana, segera beliau dimasukkan penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh Nazim pergi menuju masjid besar di Nicosia dan melakukan adhan di menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran hukum. Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim terus mengumandangkan adhan di menara-menara masjid seluruh Nicosia. Sehingga tuntutan pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau. Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan adhan, namun Syaikh Nazim mengatakan : “Tidak, aku tidak bisa. Orang-orang harus mendengar panggilan untuk shalat.”

Hari persidangan tiba. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertama dia ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid dan mengijinkan adhan dalam bahasa Arab. Itulah keajaiban syaikh kita.

Selama bertahun-tahun disana, beliau mengadakan perjalanan ke seluruh penjuru Siprus. Beliau juga mengunjungi Lebanon, Mesir, Saudi Arabia dan tempat-tempat lain untuk mengajar thariqat Sufi. Syaikh Nazim kembali ke Damaskus pada tahun 1952 ketika beliau menikahi salah satu murid Grandsyaikh Abdullah yaitu Hajjah Amina Adil. Sejak saat itu beliau tinggal di Damaskus dan mengunjungi Siprus setiap tahunnya, yaitu selama 3 bulan pada bulan Rajab, Shaban, dan Ramadhan.

Syaikh Nazim dan keluarganya tinggal di Damaskus, dan keluarganya selalu menyertai bila Syaikh Nazim pergi ke Siprus. Syaikh Nazim mempunyai dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.

Perjalanan Syaikh Nazim

Syaikh Nazim pergi haji setiap tahunnya untuk memimpin kelompok orang-orang Siprus. Beliau melaksanakan ibadah haji sebanyak 27 kali. Beliau menjaga murid-muridnya dan sebagai pengikut Grandsyaikh Abdullah.

Sulthanul Awliya Maulana Syeikh Nazim Adil Al Qubrusi Al Haqqani

Suatu saat Grandsyaikh mengatakan padanya agar pergi ke Aleppo dari Damaskus dengan berjalan kaki, dan berhenti di setiap desa untuk menyebarkan thariqat Naqsybandi, ajaran sufisme dan ajaran Islam. Jarak antara Damaskus menuju Aleppo sekitar 400 kilometer. Butuh waktu lebih dari satu tahun untuk perjalanan pergi dan kembali. Syaikh Nazim berjalan kaki selama satu atau dua hari. Ketika sampai di sebuah desa, beliau tinggal disana selama seminggu untuk menyebarkan thariqat Naqsybandi, memimpin dzikir, melatih penduduk dan melanjutkan perjalanan beliau sampai ke desa selanjutnya. Nama beliau pun mulai terdengar di setiap lidah orang-orang, mulai dari perbatasan Yordania sampai perbatasan Turki dekat Aleppo.

Hal yang sama diperintahkan dan dijalankan oleh Syaikh Nazim agar berjalan kaki ke Siprus. Dari desa satu menuju desa lainnya, menyeru orang agar kembali pada Tuhannya dan meninggalkan segala materialisme, sekularisme dan atheisme.

Beliau amat dicintai diseluruh Siprus, dan masyur dengan sebutan ‘Syaikh Nazim berturban hijau / Syaikh Nazim Yesilbas’ karena turban dan jubahnya yang berwarna hijau.

Beliau sering mengunjungi Lebanon, dimana kami mengenal beliau. Pada tahun 1955, aku berada di kantor pamanku, yang menjabat sebagai sekjen urusan agama di Lebanon, sebuah jabatan yang tinggi dalam Pemerintahan. Ketika itu tiba waktunya shalat Ashar dan pamanku, Syaikh Mukhtar Alayli sering shalat di masjid al-Umari al-Kabir di Beirut. Disana ada juga gereja pada masa Umar bin al-Khattab, yang telah berubah menjadi masjid pada masa beliau. Di bawah tanah masjid masih terdapat fondasi gereja. Pamanku menjadi imam dan aku beserta dua saudaraku shalat dibelakang beliau.

Seorang syaikh datang dan shalat disebelah kami. Kemudian orang itu melihat kedua kakakku dan menyebut nama-nama mereka, selanjutnya menoleh ke arahku dan menyebutkan namaku. Kami amat terkejut, karena kami tidak saling mengenal sebelumnya. Pamanku juga tertarik pada beliau. Itulah pertama kali kami bertemu Syaikh Nazim. Kakak tertuaku berkeras untuk mengajak Syaikh Nazim dan paman untuk menginap di rumah kami.

Syaikh Nazim mengatakan : “Saya dikirim oleh Syaikh Abdullah. Beliau yang mengatakan ‘Setelah shalat ashar nanti, yang ada disebelah kananmu bernama ini dan yang lain bernama ini. Ajaklah mereka masuk thariqat Naqsybandi. Mereka akan menjadi pengikut kita.’ “

Kami masih amat muda dan kagum akan cara beliau mengetahui nama-nama kami.

Sejak saat itu beliau mengunjungi Beirut secara rutin. Kami pergi ke Damaskus setiap Minggunya, dengan cara memohon pada ayah kami agar diizinkan mengunjungi Grandsyaikh. Aku dan kakakku menerima banyak pengetahuan spiritual dan menyaksikan kekuatan-kekuatan ajaib yang dialirkan pada hati kami, para pencari.

Rumah Syaikh Nazim tidak pernah sepi dari pengunjung. Sedikitnya seratus orang silih berganti mengunjungi rumah beliau setiap harinya dan dilayani dengan baik. Rumah beliau dekat dengan rumah Grandsyaikh di Jabal Qasiyun, sebuah pegunungan yang tampak dari kotanya, disebelah tenggara Damaskus. Rumah semen beliau yang sederhana dengan segala perabot dibuat dari tangan dengan bahan kayu atau bahan-bahan alami lain.

Mulai tahun 1974, beliau mengunjungi Eropa. Dari Siprus menuju London dengan pesawat dan kembalinya mengendarai mobil lewat jalan darat. Beliau melanjutkan pertemuan dengan setiap kalangan masyarakat dari berbagai daerah, bahasa, adat sampai keyakinan yang berbeda-beda. Orang-orang mulai mengucap kalimat Tauhid dan bergabung dengan thariqat sufi dan belajar tentang rahasia-rahasia spiritual dari beliau. Senyum dan wajahnya yang bersinar amat dikenal di seluruh benua Eropa dan disayangi karena membawa cita rasa spiritualitas yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat.

Tahun-tahun selanjutnya, beliau melakukan perjalanan kaki di wilayah negara Turki. Sejak tahun 1978, beliau habiskan tiga sampai empat bulan disetiap daerah di Turki. Dalam setahun beliau bepergian di daerah Istambul, Yalova, Bursa, Eskisehir dan Ankara. Di lain kesempatan beliau mengunjungi Konya, Isparta dan Kirsehir. Tahun berikutnya mengunjungi pesisir selatan dari Adana menuju Mersin, Alanya, Izmir dan Antalya. Kemudian ditahun berikutnya beliau bepergian ke sisi timur, Diyarbakir, Erzurm sampai perbatasan Irak. Kemudian kunjungan selanjutnya adalah di laut hitam, bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari kota menuju kota lain, dari masjid ke masjid men-syiarkan firman-firman Allah dan spiritualitas dimana pun beliau berada.

Dimanapun Syaikh Nazim pergi, beliau disambut oleh kerumunan massa dari yang sederhana sampai pejabat pemerintahan. Beliau masyur dengan sebutan ‘Al-Qubrusi’ di seluruh Turki. Syaikh Nazim merupakan syaikh / guru dari Presiden Turki terakhir, Turgut Ozal yang amat menghormati beliau. Akhir-akhir ini syaikh Nazim terkenal karena pemberitaan yang luas dari media dan pers. Beliau di wawancarai hampir tiap minggu oleh berbagai stasiun TV dan reporter yang menanyakan tentang berbagai kejadian serta masa depan Turki. Beliau mampu menjembatani antara pemerintahan yang sekuler dan kelompok Islam fundamental, seperti yang diajarkan oleh Nabi (saw) sehingga tercipta kedamaian disetiap hati dan pikiran dari kedua belah pihak, baik kalangan awam maupun yang cerdas sekali pun.

Tahun 1986, beliau terpanggil untuk mengadakan perjalanan menuju Timur jauh; Brunei, Malaysia, Singapore, India, Pakistan, Sri Lanka. Beliau di terima baik oleh para Sultan, Presiden, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan tentu saja rakyat pada umumnya. Beliau di sebut sebagai orang suci zaman ini di Brunei. Beliau disambut dengan kemurahan rakyat dan khususnya oleh Sultan Hajji Hasan al-Bolkiah. Beliau digolongkan sebagai salah satu syaikh terbesar thariqat Naqsybandi di Malaysia. Di Pakistan, beliau dikenal sebagai penyegar akan thariqat sufi dan beliau mempunyai ribuan murid. Di Srilanka, di antara pemerintahan dan rakyat biasa, beliau mempunyai lebih dari 20.000 (dua puluh ribu) murid. Di antara muslim Singapore, beliau juga amat dihormati.

Pada tahun 1991, untuk pertama kalinya beliau mengunjungi Amerika. Lebih dari 15 negara bagian beliau kunjungi. Beliau bertemu dengan banyak kalangan masyarakat dari berbagai aliran dan agama-agama : Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu, New age, dan lain-lain. Hal ini membuahkan berdirinya lebih dari 13 pusat-pusat thariqat Naqsybandi di Amerika Utara. Kunjungan kedua tahun 1993, beliau mendatangi berbagai daerah dan kota-kota, masjid-masjid, gereja, sinagog, dan candi-candi. Melalui beliau, lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) rakyat Amerika Utara telah masuk Islam dan ber-baiat dalam thariqat Naqsybandi.

Pada bulan Oktober 1993, beliau menghadiri peresmian kembali masjid dan sekolah Imam Bukhari di Bukhara, Uzbekistan. Beliau adalah orang pertama diantara banyak generasi Imam Bukhari yang mampu mengembalikan daerah pusat para awliya di Asia tengah yang sangat kuat mengabadikan nama dan ajarannya dalam thariqat ini.

Sebagaimana Shah Naqsyband sebagai pelopor di daerah Bukhara dan Asia Tengah, juga Ahmad as-Sirhindi al-Mujaddidi pelopor di milenium ke 2, dan Khalid al-Baghdadi pelopor kebangkitan Islam, shariah, dan thariqat di Timur Tengah; maka Syaikh Nazim Adil al-Haqqani adalah pelopor, pembaharu dan penyeru umat agar kembali pada Tuhan-nya di abad ini, abad perkembangan tekhnologi dan materialisme.

Khalwat Syaikh Nazim

Khalwat pertama beliau atas perintah Syaikh Abdullah ad-Daghestani di tahun 1955 di Sueileh, Yordania. Beliau berkhalwat selama 6 bulan. Kekuatan dan kemurnian dalam setiap kehadiran beliau mampu menarik ribuan murid di Sueileh dan desa-desa sekitarnya, Ramta dan Amman menjadi penuh oleh murid-muridnya. Ulama, pejabat resmi dan banyak kalangan tertarik akan pencerahan dan kepribadian beliau.

Ketika baru mempunyai 2 orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki, Syaikh Nazim dipanggil oleh Grandsyaikh Abdullah. “Aku menerima perintah dari Nabi untukmu agar melakukan khalwat di masjid Syeikh Abdul Qadir Jailani di Baghdad. Pergilah kesana dan lakukan khalwat selama 6 bulan.”

Syaikh Nazim bercerita mengenai peristiwa ini :

Aku tidak bertanya apa pun pada Grandsyaikh. Aku bahkan tidak pulang ke rumah. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju Marja, di dalam kotanya. Tidak pernah terlintas dalam benakku ‘aku butuh pakaian, uang atau makanan’. Ketika beliau berkata ‘Pergilah!’ maka aku segera pergi. Aku memang ingin melakukan khalwat bersama Syaikh Abdul Qadir Jailani.

Ketika sampai di kota, aku melihat seorang laki-laki yang sedang menatapku. Dia mengenalku. “Syaikh Nazim, anda mau kemana?“

“Ke Baghdad.” jawabku. Ternyata dia murid Grandsyaikh. “Saya juga mau kesana.” Kami pun berangkat dengan naik truk yang penuh dengan muatan barang untuk dikirim ke Baghdad.

Ketika memasuki masjid Syaikh Abdul Qadir Jailani, ada seorang laki-laki tinggi besar yang berdiri di pintu. Dia memanggilku, ”Syaikh Nazim!”

“Ya,” jawabku.

“Saya ditunjuk untuk melayani anda selama tinggal disini. Mari ikut saya.”

Sebenarnya aku terkejut akan hal ini, namun dalam thariqat segala hal telah diatur dalam Kehendak Ilahi. Aku mengikutinya sampai ke makam sang Ghawth. Aku mengucapkan salam pada kakek buyutku, Syaikh Abdul Qadir Jailani.

Sambil menunjukkan kamarku, orang itu mengatakan, ‘‘Setiap hari aku akan memberimu semangkuk sup dan sepotong roti.’’

Aku keluar dari kamar hanya untuk menunaikan shalat 5 waktu saja. Aku mencapai sebuah maqam dimana aku mampu khatam Al Qur’an dalam waktu 9 jam. Setiap harinya aku membaca La ilaha ill-Allah 124.000 kali dan shalawat 124.000 kali ditambah membaca seluruh Dalail al-khayrat, dan membaca 313.000 kali Allah, Allah, dan seluruh ibadah yang dibebankan padaku. ‘Penglihatan-penglihatan spiritual’ mulai bermunculan mengantarku dari satu maqam ke maqam lain sampai akhirnya aku menjadi fana’ dalam hadirat Allah.

Suatu hari aku mendapat penglihatan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani memanggilku menuju makamnya. Kata beliau, ‘Oh, cucuku, aku sedang menunggumu di makamku, datanglah!” Aku bergegas mandi, shalat 2 rakaat dan berjalan menuju makam beliau yang hanya beberapa langkah dari kamarku. Sesampai disana, aku mulai bermuraqaba. “as-salam alayka ya jaddi’ (semoga kedamaian tercurah padamu, kakekku)“ Segera aku melihat beliau keluar dari makam dan berdiri disampingku. Dibelakang beliau ada sebuah singgasana indah yang dihiasi batu-batu mulia. Kata beliau “Mendekat dan duduklah bersamaku di singgasana itu.”

Kami duduk layaknya seorang kakek dan cucunya. Beliau tersenyum dan mengatakan :

“Aku bahagia denganmu, Nazim Effendi. Maqam syaikh kamu, Abdullah al-Faiz ad-Daghestani amat tinggi dalam thariqat Naqsybandi. Aku ini kakekmu. Sekarang aku turunkan padamu, langsung dariku, kekuatan yang dipegang oleh Ghawth. Aku bay’at kamu dalam thariqat Qadiriah sekarang.”

Kemudian Grandsyaikh nampak dihadapanku, Nabi (saw ) pun hadir, juga Shah Naqsyband. Syaikh Abdul Qadir Jailani berdiri memberi hormat pada Nabi beserta para syaikh yang hadir, aku pun melakukannya. Kata beliau :

‘Ya Nabi, Ya Rasulullah, aku kakek dari cucuku ini. Aku bahagia dengan kemajuannya dalam thariqat Naqsybandi dan aku ingin menambahkan thariqat Naqsybandi pada maqamku.‘

Nabi tersenyum dan melihat pada Shah Naqsyband, selanjutnya Shah Naqsyband melihat pada Grandsyaikh Abdullah. Inilah adab pimpinan yang baik, karena Syaikh Abdullah yang masih hidup pada saat itu. Grandsyaikh menerima rahasia thariqat Naqsybandi yang diterima beliau dari Shah Naqsyband melalui silsilah Nabi, dari Abu Bakr as-Siddiq, agar ditambahkan pada maqam Syaikh Abdul Qadir Jailani.

Ketika Syaikh Nazim merampungkan khalwatnya, dan akan segera meninggalkan makam kakeknya dan mengucapkan salam perpisahan. Syaikh Abdul Qadir Jailani muncul dan memperbarui bay’at Syaikh Nazim dalam thariqat Qadiriah. Kata Kakeknya, “Cucuku, aku akan memberimu kenang-kenangan karena telah berkunjung ke sini.” Beliau memeluk Syaikh Nazim dan memberinya 10 buah koin yang merupakan mata uang di jaman beliau dulu hidup. Koin itu masih disimpan syaikh Nazim sampai hari ini.

Sebelum pergi, Syaikh Nazim memberi tanda kenangan jubah pada syaikh yang telah melayani beliau selama khalwat disana. “Aku memakai jubah ini selama masa khalwat, sebagai alas tidurku, bahkan juga saat shalat dan dzikir. Simpanlah, Allah beserta Nabi akan memberkahimu.” Syaikh itu mengambil jubah, menciumnya dan memakainya. Syaikh Nazim meninggalkan Baghdad dan kembali ke Damaskus, Syria.

Pada tahun 1992, ketika Syaikh Nazim mengunjungi Lahore, Pakistan, beliau berziarah ke makam Syaikh Ali Hujwiri. Salah seorang syaikh dari thariqat Qadiriah mengundang beliau ke rumahnya. Syaikh Nazim menginap disana. Setelah shalat subuh, tuan rumah itu mengatakan:

‘Ya syaikh, aku memintamu menginap malam ini untuk menunjukkan padamu sebuah jubah berharga yang kami warisi selama 27 tahun yang lalu. Diwariskan dari seorang syaikh hebat dari thariqat Qadiriah dari Baqhdad sampai akhirnya berada di tangan kami. Semua syaikh kami menyimpan dan menjaganya karena dulunya ini jubah pribadi dari ‘Ghawth’ pada masa itu.

Seorang syaikh Turki dari thariqat Naqsybandi berkhalwat di masjid-makam Syaikh Abdul Qadir Jailani. Setelah selesai, beliau berikan jubah ini sebagai hadiah karena sudah melayaninya selama khalwat. Syaikh Qadiriah pemegang jubah ini mengatakan pada penerusnya ketika akan meninggal agar menjaganya, karena siapa pun yang mengenakan jubah itu, segala penyakitnya akan sembuh. Setiap murid yang mengenakan jubah ini dalam perjalanannya menuju hadirat Ilahi akan mudah terangkat dalam tingkat kashf.’

Beliau membuka almari dan memperlihatkan sebuah jubah yang disimpan di kotak kaca. Dia keluarkan jubah itu. Syaikh Nazim tersenyum melihatnya. Syaikh Qadiriah itu bertanya pada Syaikh Nazim, ”Apakah sebenarnya ini, syaikh?“ Syaikh Nazim menjawab: “Hal ini membuat aku bahagia. Jubah ini aku berikan pada Syaikh thariqat Qadiriah saat aku selesai khalwat.”

Ketika mendengar hal ini syaikh tersebut mencium tangan Syaikh Nazim dan meminta bay’at di dalam thariqat Naqsybandi.

Khalwat di Madinah

Sering kali Syaikh Nazim diperintahkan melakukan khalwat dengan kurun waktu antara 40 hari sampai setahun. Tingkatan khalwatnya juga berbeda, mulai diisolasi dari kontak dunia luar, shalat, atau hanya diperkenankan adanya kontak saat melaksanakan dzikir atau pertemuan karena memberi kajian. Beliau sering melaksanakan khalwat di kota Nabi. Kata beliau :

Tidak seorang pun diberi kehormatan melakukan khalwat bersama syaikh mereka. Aku mendapatkan kesempatan ini berada dalam satu ruangan dengan Syaikh Abdullah di Madinah. Sebuah ruangan kuno dekat masjid suci Nabi Muhammad saw. Disana terdapat satu pintu dan satu buah jendela. Segera setelah kami memasuki ruangan itu, syaikh menutup jendela rapat-rapat dan beliau mengijinkan aku keluar hanya pada saat menunaikan shalat 5 waktu di Masjid Nabi.

Beliau mengingatkan aku agar ‘mengawasi langkah / nazar bar qadam’ ketika dalam perjalanan menuju tempat shalat. Dengan disiplin dan mengontrol penglihatan kita berarti memutuskan diri dari segala hal kecuali pada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Besar beserta Nabi-Nya.

Syaikh Abdullah tidak pernah tidur selama khalwat berlangsung. Selama satu tahun aku tidak pernah melihat beliau tidur dan menyentuh makanan. Hanya semangkuk sup dan sepotong roti disediakan untuk kami setiap harinya. Beliau selalu memberikan bagiannya kepadaku. Beliau hanya minum air dan tidak pernah meninggalkan ruangan itu.

Malam demi malam, hari demi hari, Grandsyaikh duduk membaca Qur’an hanya dengan penerangan lilin, berdzikir dan mengangkat tangannya dalam do’a. Kadang aku tidak mengerti apa yang beliau ucapkan karena beliau menggunakan bahasa surgawi. Aku hanya mampu memahaminya lewat ilham dan penglihatan yang datang pada hatiku.

Aku tidak tahu kapan saatnya malam atau pun siang kecuali saat shalat. Grandsyaikh tidak pernah melihat sinar matahari selama setahun penuh, kecuali cahaya dari lilin. Dan aku melihat cahaya matahari hanya ketika pergi untuk shalat.

Melalui khalwat tersebut, spiritualitasku meningkat ke tingkatan yang berbeda-beda. Suatu hari aku mendengar beliau mengatakan : ‘Ya Allah, beri daku kekuatan “Ghawth” / perantara / penolong, dari kekuatan yang Engkau berikan pada Nabi-Mu. untuk meminta ampunanMu bagi seluruh umat manusia saat kiamat nanti dan mengangkat mereka menuju Hadirat-Mu.’

Ketika beliau mengatakan hal ini, aku mengalami ‘penglihatan’ keadaan disaat hari kiamat. Allah swt turun dari Arsh-Nya dan mengadili umat manusia.. Nabi berada di samping kanan-Nya. Grandsyaikh berada di sebelah kanan Nabi, dan aku berada di sebelah kanan Grandsyaikh.

Setelah Allah mengadili umat manusia, Dia memberi wewenang Nabi untuk menjadi perantara ampunan-Nya. Ketika Nabi selesai melakukannya, beliau meminta Grandsyaikh untuk memberi barakahnya dan mengangkat mereka dengan kekuatan spiritual yang telah diberikan. Penglihatan itu berakhir dan aku mendengar Grandsyaikh mengatakan, ‘ Al-hamdulillah, Al-hamdulillah, Nazim Effendi, aku sudah mendapat jawabannya.’

Suatu hari selesai shalat subuh Grandsyaikh mengatakan, ‘Nazim Effendi, lihat!’ Kemana harus kulihat, atas, bawah, kanan atau kiri? Ternyata ada di bagian hati beliau. Sebuah penglihatan muncul. Aku melihat Syaikh Abdul Khaliq al Ghujdawani muncul dengan tubuh fisiknya dan mengatakan padaku, ’Oh anakku, syaikh-mu memang unik. Tidak ada yang seperti dia sebelumnya.‘ Kemudian kami diajak beliau di tempat lain di bumi ini.

‘Allah swt memintaku untuk pergi ke batu itu dan memukulnya’ sambil menunjuk sebuah batu. Ketika beliau memukulnya, sebuah semburan air memancar deras keluar dari batu itu. Kata beliau, ‘Air itu akan terus memancar seperti ini sampai kiamat nanti, dan Allah swt mengatakan padaku bahwa pada setiap tetes air ini Dia ciptakan satu malaikat bercahaya yang akan selalu memuji-Nya sampai kiamat nanti.’

Kata Allah : ‘Oh hamba-Ku Abdul Khaliq al-Ghujdawani, tugasmu adalah memberi nama para malaikat ini dengan nama yang berbeda dan tidak boleh ada pengulangan. Hitung pula berapa kali pujian-pujian mereka, kemudian bagikan pada seluruh pengikut thariqat Naqsybandi. Itulah tanggung jawabmu.” Aku takjub akan beliau beserta tugas luar biasa yang diembannya.

Penglihatan itu terus berlanjut serasa menghujaniku. Pada hari terakhir khalwat kami setelah shalat subuh aku mendengar suara-suara dari arah luar ruangan kami. Suara orang dewasa dan suara anak-anak menangis. Tangisan itu semakin menjadi-jadi dan berlangsung berjam-jam. Aku tidak tahu siapa yang menangis karena tidak diizinkan untuk melihatnya. Grandsyaikh bertanya, “Nazim Effendi, tahukah kamu siapa yang sedang menangis?”

Walaupun aku tahu bahwa itu bukan tangisan manusia, namun aku menjawab, ”Oh syaikh, engkaulah yang lebih mengetahuinya.”

“Setan mengumumkan pada komunitasnya bahwa 2 manusia di bumi ini telah lolos dari kendalinya."

Kemudian aku melihat setan dan bala tentaranya telah dirantai dengan rantai surgawi untuk mencegah mereka mendekati syaikh dan aku. Penglihatan itu berakhir. Grandsyaikh meletakkan tangannya di dadaku sambil mengatakan, ”Alhamdulillah, Nabi bahagia akan aku dan kamu.”

Lalu aku melihat Nabi Muhammad beserta 124.000 nabi-nabi lain, 124.000 sahabat-sahabatnya, 7007 awliya-awliya Naqsybandi, 313 awliya agung, 5 Qutb dan Ghawth. Semuanya memberi selamat kepadaku. Mereka mengalirkan dalam hatiku ilmu spiritual mereka. Aku mewarisi dari mereka rahasia-rahasia thariqat Naqsybandi dan 40 thariqat-thariqat lainnya.

Karamah Syaikh Nazim

Pada tahun 1971, Syaikh Nazim seperti biasa berada di Siprus selama 3 bulan; Rajab, Shaban, dan Ramadhan. Suatu hari di bulan Shaban, kami mendapat telepon dari bandara di Beirut. Ternyata dari Syaikh Nazim yang meminta kami untuk menjemputnya. Kami terkejut karena tidak mengira beliau akan datang.

“Aku diminta Nabi untuk menemuimu hari ini karena ayahmu akan wafat. Aku yang akan memandikan jenazahnya, mengkafani dan menguburkannya lalu kembali ke Siprus.“

“ Oh, syaikh. Ayah kami dalam keadaan sehat. Tidak ada sesuatu terjadi pada beliau.”

“Itulah yang dikatakan padaku.” Jawab beliau dengan amat yakin. Kami pun menyerah saja karena apapun yang dikatakan syaikh kami harus menerimanya.

Beliau meminta kami mengumpulkan seluruh keluarga untuk melihat ayah kami terakhir kalinya. Kami mempercayainya dan melaksanakannya walaupun ada yang terkejut dan ada yang tidak mempercayainya saat kami memanggilnya. Ada yang hadir dan ada yang tidak. Ayahku tidak mengetahui masalah ini, hanya melihat kunjungan keluarga sebagai hal yang biasa. Jam tujuh kurang seperempat. Kata syaikh Nazim, ”Aku harus naik ke apartemen ayahmu untuk membaca surat Ya Sin tepat ketika beliau wafat.” Lalu beliau naik dari flat kami dibawah. Ayahku memberi salam pada Syaikh Nazim lalu mengatakan, ”Oh Syaikh Nazim, sudah lama kami tak mendengar anda membaca Qur’an. Maukah anda melakukannya untuk kami?” Syaikh Nazim pun mulai membaca surat Ya Sin. Ketika beliau selesai membacanya, jarum jam menunjukkan tepat pukul tujuh. Persis ketika ayahku berteriak, ”Jantungku, jantungku..!!” Kami merebahkan beliau, kedua saudaraku yang sama-sama dokter memeriksa ayah. Jantungnya berdebar keras tak terkontrol dan dalam hitungan menit, beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Semua orang melihat pada Syaikh Nazim dengan takjub dan keheranan. “Bagaimana beliau mengetahuinya? wali macam apakah beliau? bagaimana bisa dari Siprus, beliau datang hanya untuk hal ini? rahasia seperti apakah yang ada di hatinya? “Rahasia yang di simpan beliau adalah berkat sayang Allah swt pada beliau. Allah memberi wewenang akan kekuatan dan ramalan karena beliau memelihara keikhlasan, ketaatan, dan kesetiaan pada agama Allah. Beliau menjaga kewajiban dan ibadahnya. Beliau menghormati Al-Quran. Beliau sama dengan seluruh Awliya Naqsybandi sebelumnya, seperti halnya seluruh awliya thariqat lain dan para leluhurnya, Syaikh Abdul Qadir Jailani dan Jalaluddin Rumi dan Muhyiddin Ibn Arabi yang menaati tradisi-tradisi Islam selama 1400 tahun. Dengan cinta Ilahi itu beliau akan dianugerahi pengetahuan Ilahiah, kebijaksanaan, spiritualitas dan segala hal. Beliau akan menjadi orang yang mengetahui akan masa lalu, saat ini dan masa depan.

Kami merasa terperangkap diantara dua emosi. Satu, karena tangis kesedihan kami akan wafatnya ayah dan yang kedua kebahagiaan atas apa yang diperbuat oleh guru kami pada almarhum ayah. Kedatangan beliau demi ayah kami pada akhir hayatnya tidak akan pernah kami lupakan. Beliau memandikan jasad dengan tangan beliau yang suci. Setelah semua tugas dijalankan, beliau kembali lagi ke Siprus tanpa diundur.

Suatu ketika Syaikh Nazim mengunjungi Lebanon selama 2 bulan pada musim haji. Gubernur kota Tripoli, Lebanon yang bernama Ashar ad-Danya merupakan pemimpin resmi suatu kelompok haji. Beliau menawari Syaikh Nazim untuk pergi bersama menunaikan ibadah haji. Kata Syaikh, ”Saya tidak bisa pergi dengan anda, tapi insya Allah, kita akan bertemu disana.”

Gubernur tetap memaksa. “Jika anda pergi, pergilah dengan saya. Jangan dengan orang lain.” Syaikh Nazim menjawab, ”Saya tidak tahu apakah saya akan pergi atau tidak.”

Ketika musim haji telah usai dan gubernur telah kembali, beliau segera menuju ke rumah Syaikh Nazim. Dihadapan sekitar 100 orang, kami mendengar beliau mengatakan, ”Oh Syaikh Nazim, mengapa anda pergi dengan orang lain dan tidak bersama kami?” Kami pun menjawab, ”Syaikh tidak pergi haji. Beliau bersama kami disini selama 2 bulan berkeliling Lebanon.”

Gubernur berkata, ”Tidak! beliau pergi haji, kami punya saksi-saksi. Waktu itu saya sedang thawaf dan Syaikh Nazim mendatangiku lalu mengatakan’ Oh Ashur, anda di sini?’ saya mengiyakan dan kami melakukan thawaf bersama-sama. Beliau menginap di hotel kami di Makkah. Dan menghabiskan siang hari bersama di tenda kami di Arafat. Beliau juga menginap bersama saya di Mina selama 3 hari. Lalu beliau mengatakan ‘Aku harus ke Madinah mengunjungi Nabi saw.’

Kemudian kami menatap Syaikh Nazim yang menampakkan senyum khasnya dan seakan-akan mengatakan: “Itulah kekuatan yang dianugerahkan Allah pada para awliya-Nya. Bila mereka berada di jalan-Nya, meraih cinta-Nya dan hadirat-Nya, Allah akan menganugerahi segala hal.’

“Oh syaikh-ku, karamah apa yang engkau tunjukkan pada kami adalah sangat luar biasa. Tidak pernah aku melihatnya selama hidupku. Aku ini seorang politikus. Aku percaya pada akal dan logika. Kini aku harus mengakui bahwa anda bukanlah orang biasa. Anda mempunyai kekuatan supranatural. Sesuatu yang Allah sendiri anugerahkan pada anda!”

Gubernur itu mencium tangan Syaikh Nazim dan meminta bay’at di dalam Thariqat Naqsybandi. Kapan pun Syaikh Nazim mengunjungi Lebanon, gubernur dan perdana mentri Lebanon akan duduk dalam komunitas Syaikh Nazim. Sampai saat ini, keluarga-keluarga beliau dan masyarakat Lebanon menjadi pengikut Syaikh Nazim.

2 komentar: